TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Transportasi massal berbasis rel (MRT) dinilai tepat menjadi solusi kemacetan di Jakarta.
Penilaian tersebut datang dari negeri tetangga yang sudah lebih dulu menggunakan teknologi angkutan tersebut, yakni Singapura.
“It is good solution,” ujar Menteri Senior Kementerian Urusan Luar Negeri Singapura Masagos Zulkifli, di kantornya di kawasan Tanglin, Singapura, Senin (6/5/2013).
Menurutnya, MRT akan membantu mengurangi kemacetan di Jakarta. Masagos menuturkan, Singapura selalu terbuka kepada siapa pun yang ingin memelajari pengelolaan MRT di negaranya.
“Kami sangat terbuka, siapapun silakan untuk memelajari MRT. We are happy to expose MRT (kami senang mengekspos proyek MRT),” tuturnya.
Singapura bahkan telah memberikan pelatihan untuk 5.000 calon operator MRT, antara lain dari Yogyakarta dan Makassar.
Namun, Masagos mengatakan ada beberapa perbedaan antara Jakarta dengan Singapura, terkait rencana pembangunan jaringan MRT di Jakarta.
"Different culture!” sebut dia soal perbedaan pertama.
Jumlah penduduk yang jauh berbeda, menjadi perbedaan kedua yang disebutkan Masagos. Penduduk Singapura saat ini sekitar setengah penduduk Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu mengunjungi Singapura, khusus untuk memelajari MRT.
Jokowi datang dengan memboyong jajaran direksi PT MRT Jakarta, Asisten Gubernur Bidang Pembangunan Wiryatmoko, dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sarwo Handayani. Selama berada di Singapura, Jokowi mengaku banyak menerima nasihat, masukan, dan informasi penting terkait rencana membangun MRT di Ibu Kota.
Untuk dana megaproyek MRT, pemerintah pusat bakal menanggung 49 persen biaya investasi, dan 51 persen sisanya ditanggung Pemprov DKI. Pelaksanaan pembangunan MRT menggunakan pinjaman dari Japan International Cooperation Agency (JICA) senilai Rp 15 triliun, untuk proyek MRT di ruas Depok-Lebak Bulus sampai Sisingamangaraja dengan konsep jalan layang. (*)