TRIBUNNEWS.COM, TANGERANG SELATAN -- Angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau yang biasa disebut golongan putih (golput) pada Pemilu 2014 di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) diprediksi tinggi.
Sejumlah hal ditengarai menjadi penyebabnya, seperti kejenuhan masyarakat terhadap Pemilu dan minimnya sosialisasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Tangsel.
Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Zaki Mubarok, mengatakan, dari hasil survei, tingkat partisipasi masyarakat untuk mencoblos calon anggota legislatif (caleg) rendah. Rendahnya animo untuk memilih itu terjadi di setiap daerah, termasuk di kota Tangsel. Sosialisasi Pemilu yang monoton dinilai berperan terhadap kenyataan itu.
"Yang saya lihat, KPUD hanya mengajak masyarakat untuk memilih melalui tingkat kecamatan dan kelurahan. Kemudian meminta kepada aparatur kecamatan dan kelurahan mengumpulkan warga untuk sosialisasi waktu kampanye dan pencoblosan," kata Zaki kepada wartawan, Selasa (1/4).
Zaki meyakinkan, jika sosialisasi yang dilakukan KPU hanya sebatas pada tingkat kecamatan dan kelurahan, animo masyarakat untuk memilih tidak akan mencapai target yang diinginkan oleh KPUD.
"Mayoritas para pemilih adalah kaum pekerja dan pemilih pemula, yakni para pelajar. Bagaimana kalau hanya dilakukan sosialisasi di tingkat kelurahan saja? Mereka pastinya akan lebih memilih bekerja ketimbang datang ke kelurahan hanya untuk mendengar cuap-cuap anggota KPUD. Apakah bisa mencapai target?" tanya Zaki.
Seharusnya, menurut Zaki, KPUD mulai sadar akan inovasi terkait sosialiasi Pemilu. Inovasi itu bisa berupa sosialisasi door to door ke rumah warga untuk melakukan simulasi terkait waktu dan mekanisme pencoblosan.
"Minimal KPUD menggelar kegiatan yang bisa mengundang warga untuk datang di tingkat RT/RW. Jika hal itu mampu dilakukan saya rasa akan mempersempit angka golput. Anggaran yang digelontorkan untuk KPU mensosialisasikan pemilu kan besar," bilang Zaki. Apalagi, kata Zaki, saat ini masyarakat khususnya di Tangsel sudah pintar dalam menentukan caleg yang pantas untuk duduk di kursi parlemen.
Kata dia, jika seorang caleg miskin akan visi-misi serta tidak pandai menggalang massa yang akan memilihnya, bagaimana caleg itu bisa mengamati kebijakan eksekutif nantinya? Selain itu, Zaki juga mengatakan, sudah bukan rahasia lagi bahwa parpol ataupun caleg kerap membayar massa guna meramaikan jadwal kampanye partai politik tertentu.
Jika budaya transaksional ini terus dilakukan, bilangnya, masyarakat akan lebih mementingkan uang ketimbang memilih caleg. "Hal ini pun juga harus diubah," katanya.
Ketua Divisi Pengawasan dan Humas Panwaslu Tangsel, Muhamad Taufiq MZ memberikan pandangan senada. Ia mengatakan, bila KPUD hanya menebar spanduk ajakan untuk memilih, hal itu tidak akan berjalan efektif. Apalagi KPUD Tangsel menargetkan 75 persen dari total keseluruhan Daftar Pemilih Tetap (DPT) menggunakan hak pilihnya pada pesta demokrasi yang akan datang.
"Minimnya sosialiasi Pemilu akan menjadi potensi utama tidak tercapainya target dalam tingkat partisipasi pemilih," tutur Taufiq.
Taufiq mengatakan, seharusnya KPUD Kota Tangsel peka dengan pentingnya sosialisasi yang efektif. KPUD harus segera melakukan gebrakan baru untuk meminimalisir angka golput di kota termuda se-Provinsi Banten itu. "Saya berharap KPUD Tangsel bisa persempit angka golput, meskipun waktu pencoblosan tinggal beberapa hari lagi," ujarnya. (Gopis Simatupang)