Di buku itu anda bisa menemukan prinsip-prinsip perubahan yang manusiawi. Mereka menyediakan perumahan di tiga buah Rusun: Marunda, Pegadungan, dan Pulogebang. Tidak digusur, melainkan diajak melihat, lalu putuskan sendiri. Kalau manfaatnya lebih besar, pindah dengan sendirinya.
Uniknya, buku perubahan ini ditulis dengan model yang jarang kita temui: Dibuka oleh 3 buah cerpen karya Gus TF Sakai, dilanjutkan oleh pandangan-pandangan para ilmuwan, dan ditutup oleh liputan jurnalistik.
Artinya, baik Jakpro maupun pemimpin DKI tidak bekerja dengan pembenaran-pembenaran, melainkan mengakar pada kebenaran ilmiah dan nurani. Resonansi mengalir dari Role Model di atas.
Gus Sakai sendiri menulis karya sastra itu sambil menetap di sana. Dari tulisan itu saya menemukan “suara batin” from-to yang penting dalam menganalisis dan memulai perubahan. Bukankah sastrawan selalu menangkap dengan “mata batin” yang tak kita miliki?
Cerpen pertamanya menceritakan kisah Tarno dan Darto yang terseret banjir tengah malam. Meski sibuk menyelamatkan diri, keduanya masih memikirkan Buk Madura, induk semangnya, juga anak dan istrinya yang terpencar ke arah laut.
Cerpen keduanya berkisah pergulatan resistensi warga saat ditawarkan pindah. Dan, akhirnya happy ending: kehidupan baru.
Kolom ini bisa saja di ditafsirkan berbeda, tetapi perlu dipahami bahwa negri ini butuh perubahan. Dan yang kita butuhkan bukanlah perubahan tangan besi, melainkan perubahan dengan mata batin yang didasarkan belas kasih yang manusiawi.
Tahukah Anda, dunia tengah mengecam praktek-praktek kapitalisme yang menyengsarakan. Pada tahun 2012, 1 persen plutokrat (orang-orang super kaya) menikmati penghasilan atau kekayaan yang dimiliki sebanyak 57 persen penduduk dunia.
Inilah zaman yang untuk pertamakalinya memerlukan leadership skills tingkat tinggi yang tak cukup asal tunjuk. Dunia membutuhkan pemimpin-pemimpin yang mampu bekerja lintas sektoral, berorientasi pada tindakan dan membangun komitmen.