TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jakarta sekarang sungguh gegap gempita dengan pelacuran. Siapa saja orang berduit bisa mencicipi rasa pelacur dari ras manapun.
Mereka yang berduit bisa pergi ke pusat-pusat pelacuran di Jakarta, dan menyewa wanita Uzbekistan, Spanyol, Tiongkok, dan sebagainya.
Tapi sebenarnya pelacur import sudah ada sejak abad XVII. Di akhir abad XVII pelacur Macau Po dari Macao mulai masuk ke Batavia.
Ridwan Saidi dalam bukunya berjudul 'Rode Lamp Van Batavia tot Jakarta' menulis bahwa pelacur Macau masuk seiring beralihnya kepemilikan rumah-rumah pelacuran di Jassenburg
Jassenburg ada lokasi pusat pelacuran di Batavia di pertengahan abad XVII. Tadinya rumah-rumah pelacuran disana dipegang orang-orang Mestizo. Dan jaringan germo Portugis yang menguasainya.
Tapi di akhir abad XVII kepemilikan rumah-rumah lacur di Jassenburg bergeser ke warga Tionghoa. Dan pelacur Macao Po pun mulai didatangkan.
Apalagi di tahun 1680 merupakan titik perubahan perdagangan antara Tiongkok dan Batavia. Kapal-kapal besar dari Tiongkok pun mulai kerap bersandar di Batavia.
Sejak itu pula pelacur Macao Po mulai diselundupkan di kapal-kapal itu. Ridwan menulis bahwa pelacur Macao Po adalah peranakan Portugis-Tiongkok. Didatangkan langsung dari Macau dengan kecantikan yang unik hasil perpaduan gen Portugis - Tiongkok.
Leonard Blusse dalam bukunya bukunya berjudul 'Persekutuan Aneh : Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia', menuliskan bahwa di akhir abad XVII sebagian besar kapal-kapal jung yang datang ke Batavia memang berasal dari Macau dan Amoy. Makanya tak heran apabila banyak pelacur Macao Po kemudian ikut. Jung adalah kapal-kapal besar untuk mengangkut barang dagangan.
Jung-jung itu dibuat dengan dana besar. Makanya tak ada yang sanggup memiliki kapal itu sendirian. Saat itu, germo portugis dan germo Tiongkok memilih bersatu dengan saudagar bisnis lain. Mereka ikut urunan membuat jung besar. Lalu kemudian menyekat ruang-ruang didalamnya untuk mengangkut pelacur Macao Po.
Para pelacur ini masuk ke Batavia sebagai imigran. Ada yang sebagai imigran gelap, ada pula yang masuk secara resmi. Di abad XVII sama-sama tak sulit masuk ke Batavia sebagai imigran resmi atau gelap. Keduanya sama-sama tinggal membayar.
Di jung, para pelacur ini dikenakan biaya 10 ringgit untuk satu pelacur. Sama seperti imigran lain yang menumpang kapal. Akibatnya meledaklah jumlah imigran yang datang lewat jung-jung dari Macao ini. Termasuk ledakan jumlah pelacur.
Masih dalam bukunya, Leonard Blusse menyebut VOC akibat maraknya kedatangan jung, pada tahun 1680 pemerintah VOC kewalahan menangani ledakan imigran gelap. Termasuk kewalahan menangani makin banyaknya penjaja seks dari Tiongkok dan Macao.
Sampai-sampai di tahun 1684 pemerintah VOC memperketat auturan Jung. Bahkan pada 21 Mei 1690, pemerintah VOC mengharuskan setiap orang cina yang datang sesudah tahun 1683 harus melapor. Begitupula para imigran gelap harus mendaftarkan nama anak-anak mereka.
Bahkan, saking frustrasinya dengan arus imigran gelap, di tahun 1706 VOC mengeluarkan peraturan keras soal imigran gelap. Nahkoda kapal diancam denda 1.200 ringgit apabila ketahuan membawa imigran gelap. Tapi toh arus pelacur Macao Po tetap saja deras. Penyebabnya terlalu banyak Nahkoda tamak dan pegawai VOC korup. Lagi-lagi korupsi dan ketamakan yang jadi masalah.