TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tengah kondisi internal lembaga 'carut-marut', Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti setiap laporan yang masuk dari masyarakat, tak terkecuali laporan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thajaja Purnama atau Ahok. Laporan itu, yakni dugaan penyalahgunaan realisasi dan penggelembungan (mark-up) nilai proyek dalam APBD 2012 hingga 2015.
Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK, Priharsa Nugraha mengatakan, pihaknya telah mulai melakukan kajian atau telaah terhadap laporan Ahok. Dan kini, pihaknya telah mulai melakukan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) dari sejumlah pihak terkait.
"Sudah dilakukan pulbaket. Tapi, saya belum tahu, sudah (pulbaket) apa saja," kata Priharsa, Jakarta, Sabtu (7/3/2015).
Dalam laporan ke kantor KPK pada 27 Februari 2015, Ahok menyampaikan tentang dugaan terjadinya penyimpangan realisasi dan mark-up nilai proyek dalam APBD 2012 hingga 2015.
Hal itu diketahui setelah Ahok dan jajarannya menggunakan sistem e-budgeting terhadap APBD 2015 yang disahkan oleh pihak DPRD.
Dengan penyisiran data melalui sistem e-budgeting, pihak Ahok menemukan adanya sejumlah mata anggaran siluman senilai Rp 12,1 triliun dalam APBD 2015 yang disahkan oleh pihak DPRD. Padahal, mata anggaran tersebut tidak pernah ada saat masih dalam pembahasan antara jajaran Pemprov dan DPRD.
Mata anggaran yang paling menonjol adalah pengadaan pemasok daya bebas ganggung atau Uninterruptable Power Supply (UPS) untuk sekolah di DKI Jakarta.
Padahal, pengadaan barang seharga sekitar Rp 6 miliar per unit itu juga sudah ada dalam APBD pada 2014. Namun, mata anggaran yang sama kembali dimasukkan ke dalam APBD 2015.
Selain itu, sebagian besar perusahaan pemenang tender pengadaan UPS itu diduga fiktif. Apalagi, pihak sekolah tidak pernah mengajukan kebutuhan UPS ke dinas pendidikan.
Hasil penelusuran oleh pihak Ahok dan jajarannya, rupanya modus seperti ini sudah terjadi sejak 2012 lalu.
(Abdul Qodir)