News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Derita Warga Tinggal di Dekat Tempat Pembuangan Sampah, Sesak Nafas dan Pingsan

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Para pemulung sedang mencari sampah di antara alat-alat berat yang membuang sampah di TPA Bantar Gebang Bekasi. Di sini banyak warga tinggal hanya untuk menyambung hidup.

TRIBUNNEWS.COM, BEKASI - Selama puluhan tahun, Rosa (60) warga Kampung Cikiwul No. 95 RT 04/04, Kelurahan Cikiwul, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi harus berkutat dengan aroma busuk sampah.

Aroma itu menyeruak dari Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang. Lokasi rumahnya dengan tempat pembuangan sampah hanya berjarak 50 meter.

Meski demikian, Rosa beserta suami dan keempat anaknya tampak kerasan tinggal di sana. Mereka lebih memilih bertahan di rumah itu, ketimbang pindah ke wilayah lain.

Menurut Rosa, pindah hunian di tempat baru belum tentu akan senyaman tinggal di tempat yang lama.

"Saya sudah nyaman dan betah tinggal di sini, makanya tidak mau pindah," kata Rosa pada Jumat (17/4/2015).

Rosa mengungkapkan, dia sudah tinggal di sana jauh sebelum adanya tempat pembuangan sampah. Seingatnya, ia sudah bermukim di sana sejak tahun 1980, sedangkan pembuangan sampah sudah ada sejak tahun 1990-an silam.

"Dulu di sini masih kebun-kebun dan tidak ada listrik. Cuma saya dan tetangga sebelah saja yang ada," ujar Rosa.

Selama puluhan tahun tinggal berdampingan dengan lokasi pembuangan sampah, Rosa mulai merasakan dampaknya.

Rosa dan anak ketiganya, Adam (17) mengidap penyakit sesak napas. Bahkan kini mereka menjadi ketergantungan obat sesak napas yang diberikan oleh dokter.

"Apabila sesak napas saya harus minum obat, kalau tidak saya bisa pingsan dan merepotkan keluarga. Aroma busuk sampah biasanya tercium saat pagi dan siang hari," ucap Rosa.

Kini, Rosa bersama suaminya Nirman (65) tengah menunggu pemberian tipping fee (dana kompensasi) hasil pembuangan sampah. Rencananya, uang itu akan digunakan untuk membeli obat dan jajan anak bungsunya yang kini berusia empat tahun.

Sebagai perempuan yang berpendidikan rendah, Rosa mengaku tidak terdaftar sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

"Saya nggak ngerti bikin yang begituan (BPJS) dan juga jauh, jadi kalau ke dokter biaya sendiri," jelas Rosa.

Rosa menambahkan, dana kompensasi sebesar Rp 200.000 untuk tiga bulan sebetulnya jumlah yang kecil. Hal ini tidak sebanding dengan apa yang mereka rasakan selama ini.

Dia berharap agar pemerintah memberi kenaikan dana kompensasi itu, agar masyarakat tidak terlalu tersiksa tinggal berdekatan dengan lokasi pembuangan sampah.

Penulis: Fitriyandi Al Fajri

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini