Laporan Wartawan Tribunnews.com, Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Langkah DPRD DKI Jakarta diragukan untuk menggunakan hak menyatakan pendapat sebagai tindak lanjut atas pelanggaran Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Di antara anggota fraksi DPRD DKI Jakarta terbelah soal penggunaan hak tersebut.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M Taufik membantah upaya menggulirkan hak menyatakan pendapat menanggapi pelanggaran Ahok omong kosong. Ia berdalih belum ada waktu yang pas di antara pimpinan DPRD DKI Jakarta untuk membahas persoalan itu.
"Hambatannya rapat pimpinan belum cocok waktunya di antara kami para pimpinan," ungkap Taufik kepada wartawan di DPRD DKI Jakarta, Kamis (30/4/2015).
Taufik membantah tindaklanjut temuan panitia angket atas pelanggaran Ahok jalan di tempat, lantaran Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham 'Lulung' Lunggana harus dimintai keterangan oleh Bareskrim Polri terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS).
"Tidak ada urusan (soal pemeriksaan Lulung, red). Jadi orang selalu salah memaknainya. Antara HMP dengan proses hukum tidak ada urusan dan kait mengkaitā€ˇ," terang Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta itu.
Menurut dia, hak menyatakan pendapat adalah hak dewan dan proses hukum urusan kepolisian. Dua hal berbeda ini tak sama. Selain itu, tindaklanjut temuan panitia angket terhadap pelanggaran Ahok mandek karena suara fraksi di DPRD DKI tak lagi utuh.
Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Jakarta misalnya, tegas menolak mendukung pegguliran hak menyatakan pendapat. Efeknya, hak menyatakan pendapat untuk diparipurnakan tak memenuhi kuorum. Apalagi sejumlah fraksi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat bersikap sama dengan PDI Perjuangan.
Kata Taufik, soal kuorum dalam paripurna hal berbeda. Karena syarat dasar untuk mengajukan hak menyatakan pendapat sudah terpenuhi dengan lebih dari dua anggota DPRD saja. "Kalau kuorum itu nanti. Namanya syarat dasar sudah terpenuhi," terangnya.