TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah aktivis Kongres Wanita Indonesia (Kowani) melakukan penanaman hutan mangrove di Pantai Indah Kapuk Jakarta.
"Peristiwa hari ini adalah sebuah rangkaian langkah kecil namun bertekad besar dari komitmen besar kita untuk melestarikan alam dan bumi kita," kata Ketua Umum Kowani, Giwo Rubianto Wiyogo, dalam keterangannya, Senin (7/3/2016).
Kowani bersama 86 anggota organisasi wanita yang di fasilitasi oleh Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan bertekad bersama mendukung dan pelaksanakan gerakan pelestarian alam dan seluruh aktivitas konservasi dan sejenisnya.
"Kowani sebagai ibu bangsa mempuyai komitmen sebagai pendidik yang utama dan pertama dalam menyipakan generasi penerus yang lebih sadar akan kebangsaannya untuk berprilaku budaya yang ramah lingkungan, dengan dapat mewujudkan dan menanamkan nilai-nilai dan pendidikan sejak usia dini tentang arti penting ya penggunaan sumber daya secara bertanggung jawab," kata Giwo. "Kita harus mau, mampu dan menyadari untuk melaksanakan pelestarian serta akan pentingnya keletarian ekosistem demi dunia dan seluruh mahluk," dia menambahkan.
Dikatakan, Kowani berkomitmen untuk terus mensosialisasikan, mengedukasikan serta melaksanakan bersama dengan seluruh stake holders dan seluruh anak bangsa semua kegiatan yang selaras dengan pelestarian konservasi lingkungan. Dimana hutan mangrove di Indonesia setara dengan 25% luas mangrove dunia, 60% dari luas mangrove di Asia dan 30% karbon dunia berada di ekosistim pesisir.
Hari ini, Kowani juga menggelar dialog bertema "Perempuan Sahabat Pengendalian Perubahan Iklim" di Jakarta, Senin (7/3/2016).
Dijelaskan bahwa perubahan iklim merupakan fenomena alam yang terjadi dibumi dewasa ini, keadaan ini harus kita waspadai karena dampaknya yang dapat merugikan bagi kehidupan dimuka bumi ini. Oleh sebab itu, kita harus berupaya untuk menjaga dan melestarikan bumi ini agar tidak terjadi lagi kerusakan yang parah yang bisa menyebabkan perubahan iklim.
"Dampak perubahan iklim merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan bagi penduduk bumi. Bagaimana tidak, dampak perubahan iklim sangat mengerikan karena bisa mengancam kehidupan umat manusia, diantaranya; sarana prasaran (infrastruktur) publik menjadi rusak, merebaknya wabah penyakit terutama pernapasan, kekeringan dan kekurangan sumber air, terjadinya bencana alam dimana-mana, pangan menjadi sulit sehingga harga pangan menjadi semakin meningkat (mahal) serta udara menjadi semakin kotor karena terpolusi," kata Giwo dalam dialog itu.
Pada dialog yang difasilitasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ini, Kowani sebagai ibu bangsa mempunyai komitmen sebagai pendidik yang utama dan pertama dalam menyiapkan generasi penerus yang lebih sadar akan kebangsaannya untuk berprilaku dengan budaya yang ramah lingkungan dengan dapat mewujudkan dan menanamkan nilai-nilai dan pendidikan sejak usia dini tentang arti penting nya penggunaan sumber daya secara bertanggung jawab.
"Kita harus mau, mampu, menyadari dan berkomitmen untuk melaksanakan pelestarian serta akan pentingnya keletarianekosistem demi dunia dan seluruh mahluk," kata Giwo.
Menurut dia, Kowani berkomitmen untuk terus mensosialisasikan, mengedukasikan serta melaksanakan bersama dengan seluruh stake holders dan seluruh anak bangsa,untuk bersama samaterlibat aktif disemua upaya dan kegiatan yang selaras dengantujuan pelestarian dan konservasi lingkungan. "Posisi perempuan dalam konteks perubahan iklim sangatlah vital dan besar. Langkah strategis yang perlu dilakukan oleh perempuan baik secara organisatoris maupun sebagai bagian dari masyarakat yaitu berupa mitigasi dan adaptasi," ujar Giwo.
Secara singkat, dia mengatakan mitigasi berarti sebuah usaha yang dilakukan untuk mencegah, menahan dan atau memperlambat efek gas rumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan global di bumi. "Berkebalikan dengan mitigasi, adaptasi lebih kepada upayayang dilakukan untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim yang telah terjadi dan dirasakan oleh manusia di bumi," ujarnya.
Mitigasi saja tidak cukup, demikian pula dengan hanya beradaptasi saja. Menurut Giwo, keduanya harus berjalan beriringan.
"Oleh sebab itu, baik mitigasi dan adaptasi sangat penting dilakukan secara bersama-sama dan terintegrasi dalam menghadapi perubahan iklim," ujarnya.