Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Indonesian Corruption Watch (ICW) melihat ada persekongkolan pengusaha dan politisi untuk merugikan negara dalam kasus Politikus Gerindra, Mohamad Sanusi, yang menerima suap senilai Rp 1,14 miliar dari PT Agung Podomoro Land (APL).
"Kasus OTT penyuapan kewenangan DPRD adalah bukti bagaimana pengusaha dan politisi bersekongkol menguntungkan diri sendiri dan merugikan negara," ujar Koordinator Divisi Investigasi Indonesian Corruption Watch (ICW) Febri Hendri kepada Tribun, Minggu (3/4/2016).
Apalagi kata dia, kalau dilihat dari kacamata pengusaha memiliki kepentingan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Menurutnya, sah-saja keuntungan tersebut asal diperoleh melalui cara legal atau tidak melawan hukum.
Namun, tegas dia, kalau keuntungan besar diperoleh dengan melawan hukum seperti kasus suap karena disuap untuk memuluskan Raperda Rencana Tata Ruang dan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K), itu tidak dapat dibenarkan dan harus dijerat hukum.
"Itu artinya pengusaha Indonesia masih belum bersih dari korupsi," tegasnya kepada Tribun.
Dia menjelaskan bahwa dalam kasus reklamasi pihak APL harusnya menyetor 15 persen pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun yang dilakukan sebaliknya, melobby agar setoran tersebut turun menjadi 5 persen.
"Untuk mencapai hal ini mereka membeli kewenangan DPRD Jakarta yang akan menetapkan besarannya," jelasnya.
Dengan itu, menurutnya, main mata pengusaha properti dengan pemerintah dan DPRD bisa lebih banyak lagi terutama terkait perizinan ataun dukungan lainnya.
"Pada prinsipnya pengusaha ini berusaha membeli perlindungan hukum, politik dan keamanan agar bisnis mereka lancar dan menguntungkan," ujarnya.
Dia melihat keserakahan mencari keuntungan telah menggelapkan mata pengusaha dari korupsi, untuk menyuap pejabat negara.
Anggota DPRD juga gelap mata terkait kewenangannya. Uang telah menyesatkan kewenangan yang mereka miliki.
Sebelumnya, Sanusi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT), Kamis (31/3/2016).