TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Mad Awi (35) tewas ditembak polisi di kawasan Jakarta Timur, akhir Mei 2016 ini.
Dia gembong pencurian rumah kosong yang sudah berulang kali keluar-masuk penjara.
Pria bertubuh kurus dengan kulit hitam itu memukul salah satu polisi yang menggiringnya dengan brutal.
Dia kemudian berusaha lari, makanya polisi menembaknya. Dia pun tewas seketika.
"Kita sedang mau menggiring dia untuk menunjukkan tempat kontrakan kelompoknya yang lain ketika itu," kata Kepala Unit II Subdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Komisaris Ari Cahya kepada wartawan, termasuk Wartakotalive.com di Polda Metro Jaya, Selasa (14/6/2016).
Ari menceritakan, Mad Awi tadinya hanya spesialis pencurian rumah kosong.
Dia ahli mencari rumah sasaran dan mengkoordinir orang-orang satu daerahnya dari Madura untuk beraksi bersamanya.
Tapi sepanjang 2005 - 2010, Mad Awi dan kelompok satu daerahnya sering tertangkap.
Mereka kemudian keluar masuk penjara. Anak buah Mad Awi dari Madura perlahan habis.
"Sekitar lima kali dia keluar masuk penjara," kata Ari.
Sejak itu, tahun 2010, Mad Awi bergabung dengan kelompok baru.
Dia masuk ke kelompok penjahat jalanan asal Lampung yang punya spesialisasi lain, yakni perampokan.
Dari situ pola kejahatan Mad Awi berubah. Dia tak lagi mencari rumah kosong.
Tapi mencari rumah-rumah berpenghuni dan membobolnya bersama kelompok barunya yang berasal dari Lampung.
Dia punya gaya baru dengan kelompok itu. Keahlian Mad Awi memainkan celurit ia pakai lagi.
Dia selalu membawa celurit besar setiap beraksi dan tak segan melukai pemilik rumah.
Kasubdit Jatanras Ditreskrimum Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Hendy Febriyanto Kurniawan mengatakan, berdasarkan analisa kepolisian, 2 tahun ke belakang kelompok-kelompok kejahatan memang mulai melakukan pola kerja sama.
Polisi sebelumnya memang mengklasifikasi penjahat berdasarkan asal daerah.
Kelompok Lampung dinilai ahli merampok dan pembegalan. Kelompok Madura ahli pembobolan rumah kosong. Kelompok Jawa, Pandeglang ahli dalam curanmor.
"Tapi 2 tahun belakangan kelompok-kelompok kedaerahan ini mulai melebur," kata Hendy.
Mereka saling membaur dan bertukar ilmu-ilmu kejahatan. Termasuk akses ke senjata api.
Tadinya penjahat-penjahat dari Lampung saja yang kerap memegang senjata api. Tapi sejak 2 tahun belakangan, penjahat dari daerah lain juga sudah memegang senjata api.
Penyebabnya mereka berhubungan dengan penjahat dari Lampung yang punya akses ke pembuat senjata api.
Menurut Hendy, berdasarkan analisa polisi, meleburnya kelompok-kelompok disebabkan dua hal.
Pertama, banyaknya komplotan kejahatan yang tertangkap. Sehingga mereka kekurangan anggota dan terpaksa saling melebur.
Kedua, kata Hendy, peleburan kelompok banyak terjadi di Lembaga Pemasyarakat (LP) atau Rutan.
Di sana penjahat-penjahat ini saling kenal dan memberi referensi.
Begitu seorang penjahat bebas, dia akan dihubungkan dengan kelompok yang masih berkeliaran dan kemudian bergabung.
"Begitu memang polanya," kata Hendy. Penjara itu seperti 'sekolah' bagi penjahat. Tempat mereka membangun jaringan baru. (Theo Yonathan Simon Laturiuw )