TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pondok pesantren adalah salah satu benteng terbaik bangsa Indonesia dalam memerangi paham radikalisme dan terorisme yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Pondok pesantren selama ini merupakan obor dan penerang bangsa Indonesia dalam menanamkan pemahaman agama islam yang benar yaitu islam yang rahmatan lil alamin dalam membentuk jiwa mulia (akhlakul kharimah).
“Pesantren memiliki nilai historis yang panjang dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pesantren tidak saja hadir sebagai pusat studi khas islam tetapi pesantren juga merupakan konsolidasi perjuangan nasionalisme Indonesia. Dalam konteks pencegahan paham radikalisme dan terorisme, pondok pesantren perannya sangat vital dalam memberikan pemahaman agama islam,” ungkap Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT, Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir saat membuka Dialog Pencegahan Paham Radikal Terorisme dan ISIS di Kalangan Pimpinan Pondok se-Jabodetabek di Ballroom Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis (23/6/2016).
Menurutnya, pimpinan pondok pesantren memiliki pengaruh yang cukup signifikan bagi masyarakat dalam ikut mensosialisasikan bahwa radikalisme dan terorisme sebagai paham yang berbahaya bagi keberlangsungan bangsa Indonesia.
Pimpinan pesantren memiliki kapasitas dan keahlian dalam menangkal paham dan pemikiran radikalisme terorisme, karena bagaimanapun kelompok ini selalu mengatasnamakan agama dalam melakukan perekrutan dan penyebaran pahamnya, agama sering sekali ditafsirkan secara terbatas.
Bahkan yang mengerikan Islam yang seharusnya sebagai agama rahmatan lilalamin, dengan wajah santun, kemanusiaan, dan toleransi dirusak dengan wajah islam yang penuh kekejaman, kebencian, dan kekerasan, tak jarang kelompok ini menggunakan dalil-dalil agama dalam melakukan penyebaran paham ini.
Hal senada diutarakan Wakil Gubernur DKI Jakarta Drs. H Djarot Syaiful HIdayat, MSi, yang juga hadir di dialog tersebut. Ia menilai pondok pesantren itu adalah salah satu pilar dalam membentengi bangsa Indonesia dari paham kekerasan dan terorisme.
“Karena itu sudah tepat BNPT menjadikan pondok pesantren sebagai partner dalam menangkal paham kekerasan dan terorisme tersebut karena ke depan tantangan kita semakin berat,” ujar Djarot.
Wagub yakin dengan adanya dialog, persamaan visi dan misi, kebersamaan, gotong royong, ideologi Pancasila sebagai landasan hidup bangsa, serta toleransi seperti ini menjadi keunggulan Indonesia sehingga bangsa ini tidak bisa dikalahkan begitu saja oleh kelompok kecil kaum radikalisme dan terorisme yang menggunakan kedok agama.
“Saya atas nama Pemprov DKI menyambut gembira pelaksanaan dialog seperti ini karena mempunyai posisi yang strategis, apalagi untuk ibukota negara kita ini. Untuk itu saya minta bantuan kepada para ahli, ulama, pondok pesantren untuk ikut bersama dengan kami meningkatkan Sumber Daya Anusia kita dalam penanaman nilai kemanusiaan dan agama dalam rangka menciptakan manusia Indonesia yang anti paham kekerasan dan terorisme,” papar Wagub.
Menurutnya, gerakan terorisme dan radikalisme untuk mewujudkan hasil paling cepat, salah satunya menyerang ibukota negara. Apabila ibukota diserang atau diobok-obok, maka paham seperti ini akan lebih cepat dan lebih mudah menyebar. Maka tidak heran, Jakata selalu menjadi target utama tindakan terorisme dan radikalisme yang berkedok agama.
“Terorisme dan radikalisme dengan mengatasnamakan agama, bukan hanya agama islam, tapi agama lain juga ada radikalisme. Tapi kebetulan di Indonesia sebagian besar berkedok agama islam. Dengan menghalalkan segala macam cara yaitu membunuh, menyakiti, dan merampas orang lain untuk mewujudkan tujuannya. Jangan ragu, kalau ada butuh kerjasama dengan Pemprov DKI saya buka pintu selebar-lebarnya untuk menciptakan Jakarta yang aman dan kondusif sebagai ibukota negara Indonesia,” urai Wagub.
Pada kesempatan itu, Wagub Djarot menyampaikan beberapa hal yang menjadi uneg-unegnya. Pertama ia prihatin paham kekerasan dan terorisme banyak bermain di dunia maya.
Dengan kemajuan teknologi informasi (TI), bisa jadi otak dan pikiran masyarakat Indonesia dicuci melalui dunia maya. Di sisi lain, pemerintah belum mampu memblokir situs berbahaya yang meracuni bangsa kita dalam media-media radikal.
“Mereka membuat pasukan di dunia maya, yang nanti akan diturunkan di dunia nyata yaitu pasukan cyber. Inilah sesungguhnya cyber war (perang di dunia maya) itu. Perang apa? Perang opini, bagaimana anak muda hampir tiap hari bergantung dengan smartphone. Mungkin smartphone akan jadi berhala baru,” jelas Djarot.
Menurutnya, menolak TI di zaman seperti ini sudah tidak mungkin. Tetapi itu seharusnya lebih ditanamkan bagaimana kita bisa cerdas menggunakan dunia maya dan telepon pintar.