Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sempat meradang, nada suaranya terdengar meninggi begitu ditanyakan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi Ali Fikri.
Ali mempertanyakan dasar hukum kontribusi tambahan yang dibebankan kepada pengembang reklamasi. Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang belum disahkan, tapi Ahok berani mengeluarkan kebijakan kontribusi tambahan berupa 15 persen dikali nilai jual obyek pajak dikali lahan yang dapat dijual.
Ahok menjelaskan hak diskresinya bisa digunakan asalkan tidak hanya menguntungkan pengembang, tapi juga menguntungkan Pemerintah Daerah, tertuju untuk pembangunan infrastruktur Jakarta, hingga bermanfaat kepada warganya.
Ahok mengatakan, bila besaran kontribusi tambahan disimulasikan, Pemda DKI berpotensi mendapatkan pemasukan berkisar Rp48 triliun. Bahkan lebih besar bila pengembang terus mengulur waktu membayarkan kontribusi tambahannya. Karena ketentuannya sesuai nilai jual obyek pajak yang nilainya terus berubah tiap tahunnya.
"Diskresi bisa dilakukan mendesak. Satu sisi, saya tidak ingin nilai kontribusi tidak jelas. Kalau tanpa perjanjian (yang mencantumkan 15 persen), kita bisa dikadalin," ujar Ahok di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Senin (25/7/2016).
Dasar diskresi yang digunakan Ahok adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014. Sedangkan izin pelaksanaan reklamasi diberikannya atas dasar Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995.
Kemudian mengenai kontribusi tambahan, bercontoh pada perjanjian kerja sama 1997. Saat itu pengembang pertama yang mereklamasi pulau di Teluk Jakarta adalah PT Manggala Krida Yudha. Perusahaan tersebut membuat perjanjian kerja sama dengan Badan Pelaksana reklamasi Pantai Utara (tim gabungan pemerintah pusat dan Pemprov DKI).
Menurut Pasal 1 huruf S perjanjian itu, kontribusi adalah sumbangan pihak kedua (pengembang) berupa uang dan atau fisik infrastruktur di luar area pengembangan dalam rangka menata kawasan Pantai Utara Jakarta.
Besarannya memang tidak diatur. Angka 15 persen didapatkan Ahok berdasarkan pengalaman kerja sama PT Pembangunan Jaya Ancol dengan Pemprov DKI Jakarta. Kerja sama dengan badan usaha milik daerah (BUMD) tersebut menggunakan mekanisme bagi hasil 70-30.
Pemprov DKI Jakarta sebagai pemegang hak pengelolaan lahan (HPL) mendapatkan 30 persen dari deviden setiap tahunnya. Ahok mengungkapkan, perlu rumus baru untuk mendapatkan bagi hasil yang lebih jelas dari hasil kerja sama tersebut. Sebab permasalahan keuntungan sangat sulit untuk melakukan verifikasi. Alhasil dilakukan perhitungan, sehingga muncul angka 15 persen dari NJOP.
Jaksa Penuntut Umum sempat bertanya kepada Ahok, kenapa besarannya tidak lebih besar dari 15 persen, semisal 25 persen. Mendengar pertanyaan itu, Ahok sempat geram terdengar suaranya sempat meninggi.
"Kalau yang sekarang saja sudah keberatan DPRD. Saya bersyukur ada kejadian seperti ini, karena nanti ditanyakan kenapa tidak 30 atau 40 persen. Tuhan nolong saya ada kejadian ini. Saya begitu takut kalau tidak dikenakan kontribusi tambahan," ucap Ahok.
"Diskresi yang saya lakukan untuk mengamankan pemasukan DKI. Kalau bapak, maksa saya tidak menggunakan diskresi, nanti ada yang mengadu kepada saya, bapak menuduh saya, 'kenapa tidak lebih tinggi'. Ada yang keberatan bulak-balik, kalau saya tidak menggunakan diskresi tanpa angka," imbuh dia.
"Bagaimana diskresi saya dipertanyakan. Seharusnya, bapak harus curiga, saya ada bermain dengan pengembang atau DPRD kalau saya tidak menggunakan diskresi saya," kata mantan Bupati Belitung Timur tersebut," tegas Ahok