TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selama dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) -Jusuf Kalla (JK), khusus Ibu Kota negara, Jakarta, dan sekitarnya sempat di teror bom.
Ditemukan benda-benda mencurigakan yang tak diketahui pemilik. Situasi ini membuat tidak nyaman penduduk ibu kota karena mereka diselimuti rasa khawatir.
Berdasarkan data yang dihimpun, selama periode tersebut, setidaknya terjadi sekitar lima ledakan mengguncang kota metropolitan itu. Tempat-tempat terjadi ledakan, seperti toilet ITC Depok, pada Senin
(23/2/2015).
Kemudian, rumah bedeng lapangan belakang Gang Kayu Mati, Jalan Jatibunder, Tanah Abang, pada Rabu (8/4/2015).
Ledakan di Mall Alam Sutera, pada Kamis (9/7/2015) dan Rabu (28/10/2015).
Serta insiden terakhir ketika terjadi enam ledakan dan penembakan di daerah sekitar Plaza Sarinah Jalan MH Thamrin, pada Kamis (14/1/2016).
Kemudian ledakan yang terjadi di tempat parkir Menara Cakrawala, gedung sebelah utara Sarinah, dan sebuah pos polisi di depan gedung tersebut.
Sedikitnya delapan orang tewas, termasuk empat diantaranya pelaku penyerangan, dan 24 lainnya luka-luka akibat serangan ini.
Belum lagi ditambah ancaman bom yang ditujukan ke tempat-tempat strategis, seperti Masjid Istiqlal, pada Kamis (16/7/2015), Bandara Halim Perdanakusuma, pada Jumat (18/3/2016), Balai Kota DKI Jakarta,
pada Rabu (20/7/2016), serta sejumlah pusat perbelanjaan.
"Saya merasa takut dan khawatir. Saya merasa terancam mau kemana-mana jadi ancaman bagi saya," ujar Ronald Chaniago (32), seorang pegawai swasta, kepada tribun, Selasa (18/10/2016).
Menurut dia, potensi aksi teror itu dapat diminimalisir apabila para aparat, seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Polri, dan TNI saling berkoordinasi untuk mengantisipasi ancaman ledakan.
Selama ini, dia menilai, para aparat itu tidak kompak saat menjalankan tugas.
"Aparat keamanan tak pernah kompak padahal sudah ada BIN, pihak kepolisian, dan TNI. Kerjasama mengantisipasi ancaman ledakan. Padahal BIN menginfokan ada ancaman dan ledakan tapi tak digubris. Kekompakan di negara ini untuk mengantisipasi itu," kata dia.
Pengamat intelijen dan teroris, Margidu Wowiek Prasantyo, menilai perlunya dilibatkan militer. Dia
beralasan, terorisme merupakan suatu ancaman bagi negara yang sudah masuk ke ranah militer dan intelijen.