Dari keterangan para saksi, Verayanti mengatakan, pihak sekolah tidak cepat menangani putrinya saat peristiwa terjadi.
Saat dievakuasi dari kolam renang sedalam 1,4 meter, "dada anak saya ditekan-tekan, pembuluh darahnya pecah. Seharusnya penanganannya, badan anak diangkat, dibalikkan badannya kepala di bawah agar air bisa keluar dari paru-parut," kenangnya.
Asip, ayah almarhum Gaby menyayangkan sikap sekolah yang hingga kini tidak menyampaikan permintaan maaf kepada keluarganya atas kelalaian guru sekolah.
"Sampai saat ini guru olahraganya belum pernah datang kepada kami untuk meminta maaf. Pihak sekolah juga tidak pernah meminta maaf kepada kami, juga pemilik sekolah, seorang pengusaha besar juga tidak pernah meminta maaf kepada kami. Gurunya olahraganya, Ronaldo Ratulete tetap bebas," kata Asip.
Menurut Asip, koordinator kurikulum sekolah yang menetapkan satu guru olahraga menjaga 15 siswa di sekolah juga harus ikut bertanggung jawab. "Direktur sekolahnya hanya mengatakan ini musibah. Apakah moralitas sekolah seperti ini?" kata Asip.
Ketua Komisi Arist Merdeka Sirait mengatakan, pihaknya pernah mengekspos kasus ini setahun lalu. Namun dia menilai penegak hukum memang lambat menuntaskan pengusutan kasus ini. "Ini melanggar UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak," kata Arist Merdeka Sirait.
"Hasil otopsi dokter menyimpulkan Gaby meninggal karena tenggelam di kolam renang sekolah. Surat dari Dinas Pendidikan juga menyatakan Gaby meninggal di sekolah, di kolam renang yang bukan seharusnya untuk anak anak seusia Gaby," kata Arist.
"Ketika guru bersangkutan mendapat pemberitahuan Gaby tenggelam, dia tidak segera melakukan tindakan penanganan cepat," ujar Arist..
Atas laporan ini, Arist menyatakan, Komnas Perlindungan Anak akan meminta klarifikasi ke Kejaksaan Jakarta Barat dan Polres Metro Jakarta Barat, untuk mengecek apa sebenarnya kurang dari materi berkas perkara dan belum dipenuhi polisiu.
"Proses berkas menjadi P21 tidak boleh lebih dari 14 hari harus sudah diproses," tegasnya.