TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mengawal kasus Jessica Kumala Wongso membawa cerita tersisa.
Wartawan Kompas TV Fristian Griec, yang telah meliput 32 kali jalannya persidangan merangkum sidang yang membawa vonis hukuman 20 tahun penjara untuk Wayan Mirna Salihin
Berikut catatan yang dituliskan Fristian.
27 September 2016, akhirnya kesempatan itu tiba.
Saya diizinkan bersama para penasehat hukum Jessica; Otto Hasibuan, Surdame Purba, Hidayat Bostam, dan Elisabeth Batubara mengunjungi Jessica di rutan pondok bambu.
Kami diizinkan menempati ruang konsultasi hukum. Itu adalah kali pertama saya melihat, mendengar, berada dekat dengan Jessica Kumala Wongso – terdakwa tunggal pembunuhan berencana atas sahabatnya sendiri – dengan (telah) banyak pemberitaan tentangnya selama ini.
Saya berusaha keras lepas dari “persepsi” saya sendiri ketika itu. “Fristian, ayo ... geser. Kenapa duduknya jauh-jauh?”, ucapan Otto Hasibuan seperti menghentak saya ditengah kekikukan karena harusnya pertemuan tersebut hanya antara Jess dan para kuasa hukumnya.
Saya pun menggeser posisi duduk. Kami berkumpul di satu meja dan ya, untuk pertama kalinya saya berkesempatan mendengarkan kronologi kejadian langsung dari Jessica sendiri.
3 jam pertemuan ketika itu, dari sekitar pukul 13:00 – 16:00 wib. Waktu yang cukup lama untuk memperhatikan sosok Jessica.
Apa yang diceritakan Jess kepada kami di rutan, lebih kurang itu pulalah yang disampaikannya di muka persidangan ke-26 keesokan harinya dengan agenda pemeriksaan Jessica sebagai terdakwa.
Jessica tampak lebih emosional dengan dicecar berbagai pertanyaan yang begitu personal dengan gaya mendesak bahkan terkadang keras dari para Jaksa Penuntut Umum.
Usai Ia diperiksa selama sekitar 12 jam pada hari itu, jelang dini hari saya pun menemuinya di basemen Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Saya pun memanfaatkan waktu yang sangat singkat saat Jess keluar dari pintu ruang tahanan menuju bus tahanan yang akan membawanya kembali ke rutan Pondok Bambu atau biasanya dalam beberapa kesempatan berbincang Jess menyebutnya “PB” – jadi terdengar lebih “keren” dari sekadar rumah tahanan, hehe.
“Tadi kelihatan emosional sekali?”, tanya saya ke Jess.
Ia pun menjawab singkat sambil menuju bus, “ya, tadi saya ditanyai hal-hal yang emosional jadi ya saya emosional”.
Tak banyak pertanyaan yang bisa saya ajukan dengan kesempatan yang begitu singkat.
Selanjutnya, kesempatan untuk mewawancarainya dengan sorotan kamera menjadi semakin sulit.
Ternyata, semakin banyak anggota grup #savejessica dan juming-juming (pendukungJessica) yang tahu kalau Jess biasanya dibawa keluar ruang tahanan pengadilan negeri Jakarta Pusat menuju bus dan kesempatan itu bisa dimanfaatkan untuk berfoto bersama dengan Jess.
Karena di basemen semakin ramai, maka bus tahanan yang membawa Jess dari dan kembali ke rutan pondok bambu posisinya dirapatkan dengan pintu keluar ruang tahanan.
Ditambah barikade dari sejumlah petugas kepolisian, Jess semakin sulit untuk diwawancarainya.
Sosok Jessica di satu sisi memang telah “dipersepsikan” bersalah namun di sisi lain tak sedikit pula yang benar-benar bersimpati terhadapnya.
Selama proses persidangan banyak yang berusaha untuk berfoto bersama dengan Jess bahkan sampai ada yang berusaha masuk ke ruang tahanan untuk menemuinya atau ya, menunggu Jess dibawa keluar dan masuk bus tahanan. Ada yang gagal, ada pula yang berhasil.
Sebagian dari mereka bahkan ada yang mengunggah foto atau video mereka bersama Jess ke media sosial.
Tak hanya itu, setiap hari tim penasehat hukum Jessica banyak menerima titipan hadiah untuk Jess.
Ada yang memberi kemeja putih karena memang setiap sidang Jess diharuskan mengenakan pakaian berwarna putih dan hitam dan banyak hadiah lainnya.
Mungkin dipersatukan oleh satu rasa “simpati” kepada Jess, para anggota grup juming-juming dan #savejessica tampak kompak.
Beberapa dari mereka, ada yang secara sukarela dalam tiap persidangan membelikan air mineral, cemilan, permen untuk dibagikan ke semua anggota grup saat sidang-sidang yang panjang berlangsung.
Kekompakan para simpatisan ini juga tampak saat hari ulang tahun Jess pada 9 Oktober lalu.
Salah satu penasehat hukum Jess, Elisabeth Batubara “membocorkan” kalau warna kesukaan Jess adalah warna biru.
Para simpatisan Jess pun ramai-ramai mengenakan pakaian nuansa biru saat mengunjungi rutan di hari ulang tahun Jess.
Meski ternyata tak semua dari mereka yang berkesempatan dapat masuk ke rutan dan mengucapkan selamat ulang tahun secara langsung kepada Jess.
Tak mudah menenangkan para simpatisan Jess yang rela berpanas-panasan di depan pintu rutan pondok bambu menunggu kepastian apakah mereka bisa masuk atau tidak.
“Fristian, kapan tante bisa masuk buat ketemu Jes?”, tanya Maria Elska, salah satu simpatisan Jess yang berusia 76 tahun yang pada hari itu rela datang menyetir sendiri dari Bandung.
Namun sayang sekali, penasehat hukum Jess tak berhasil mengusahakan puluhan simpatisan tersebut bisa diizinkan masuk ke rutan untuk menemui Jess. (Bersambung)