TRIBUNNEWS.COM - Tim pemenangan pasangan calon gubernur DKI Jakarta nomor pemilihan satu, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, mengatakan ada pihak yang berusaha melakukan kampanye hitam pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Usaha itu disebarkan lewat media sosial berupa cuplikan video Agus saat berkunjung ke salah satu media.
"(Video) diberi gambar-gambar tambahan sedemikian rupa untuk menyerang dan membentuk persepsi keliru tentang intelektualitas Agus," kaya juru bicara Agus-Sylvi, Rachland Nashidik lewat keterangan pers di Jakarta, Jumat (30/12/2016).
Rachland menjelaskan, dalam rekaman asli wawancara, Agus mempertanyakan mitos penggusuran sebagai satu-satunya solusi bagi problematika Jakarta, termasuk banjir.
Menurut Agus, kata Rachland, bukan tak mungkin membangun Jakarta tanpa menggusur.
Pemikiran itu dimasukan dalam argumentasi wawancara tersebut.
"Contoh yang ia (Agus) saksikan dari pengalaman perjalanannya ke beberapa negara tentang membangun rumah di atas sungai, mengapung," kata Rachland.
Politisi Partai Demokrat itu mengatakan bahwa gagasan membangun rumah di atas air sudah ada sejak lama.
Menurut Rachlan, Joko Widodo dalam kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012 juga pernah menggagas apartemen mengapung di atas Sungai Ciliwung.
Menurut Rachland, gagasan itu bisa saja belum diketahui oleh sebagian masyarakat dan Agus tak bertanggungjawab atas keterbatasan informasi tersebut.
"Keterbatasan pengetahuan orang yang membuat video mengejek Agus tentu adalah tanggungjawabnya sendiri," kata dia.
Rachland melanjutkan, Agus tak pernah menyatakan kampung apung adalah solusi yang akan ia pilih bagi Jakarta.
Menurut dia, Agus mengatakan akan mempelajari dengan serius berbagai alternatif demi mencegah penggusuran.
"Kami sangat menyesalkan kampanye hitam pada Agus Yudhoyono yang diedarkan secara massif melalui media sosial dan aplikasi percakapan pribadi," kata Rachland.
Agus-Sylvi sendiri menolak kampanye hitam dan secara konsisten menjauhinya.
Rachland menambahkan bahwa Jakarta adalah rumah bersama yang tidak boleh dirusak oleh permusuhan dan dengki, melainkan harus dirawat dengan solidaritas dan empati.
KOMPAS.com/Kahfi Dirga Cahya