TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon wakil gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahudin Uno memenuhi panggilan penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya terkait kasus dugaan penggelapan dan pemalsuan yang membuatnya dipolisikan.
Sandiaga mengaku ini merupakan panggilan pertama yang dilayangkan pihak kepolisian terkait kasusnya.
Meski sebelumnya pada Selasa (21/3/2017) dirinya sempat dipanggil, tapi berhalangan karena bertepatan dengan jadwal kampanye Pemilihan Kepala Daerah Jakarta 2017.
"Panggilan pertama dari Polda, saya datang memenuhi panggilan pertama. Dan tentunya ini untuk mengklarifikasi berita-berita bahwa saya pernah tidak hadir. Tapi ini panggilan pertama dan saya sebagai warga negara yang patuh hukum," ujar Sandiaga di Mapolda Metro Jaya, Semanggi, Jakarta Selatan, Jumat (31/3/2017).
Sandiaga kepada awak media menjelaskan mengenai PT. Japirex, perusahaan yang diseret-seret dalam kasus penggelapan dan pemalsuan.
"Sebetulnya PT. Japirex subjek dari pemeriksaan ini adalah perusahaan yang pernah beroperasi dalam industri rotan," ujar Sandiaga.
Perusahaan rotan itu, ucap Sandiaga, mengalami kesulitan karena kebijakan pemerintah pada saat itu. Sehingga akhirnya harus berhenti beroperasi dan dilikuidasi.
"Ini mengalami kesulitan dan akhirnya karena kebijakan pemerintah yang kurang bersahabat akhirnya mengalami kesulitan dan berhenti beroperasi dan dilikuidasi," ujar Sandiaga.
Sebelumnya Sandiaga dan rekan bisnisnya di PT. Japirex, Andreas Tjahjadi dilaporkan ke polisi dua kali oleh Fransiska Kumalawati Susilo yang mewakili Edward Soeryadjaja dan Djoni Hidayat.
Sandiaga dan Andreas dilaporkan karena diduga melakukan penggelapan dan pemalsuan.
Pertama, penggelapan asset dari likuidasi PT. Japirex berupa lahan seluas 9.000 meter persegi.
Penjualan lahan di Jalan Raya Curug itu, dilakukan dalam rangka likuidasi aset-aset milik PT. Japirex.
Sandiaga dan Andreas selaku pemegang saham PT. Japirex sepakat membubarkan perusahaan. Djoni Hidayat, termasuk sebagai salah satu tim likuidator PT. Japirex.
Dalam likuidasi itu, menurut keterangan Fransiska, Djoni tidak mendapatkan uang dari hasil penjualan asset.
Sementara kasus yang kedua, merupakan kasus pemalsuan kwitansi pembayaran atas aset tanah tersebut.
Menurut Fransisca, ada kwitansi yang menyatakan bahwa Djoni selaku penerima kuasa atas tanah telah menerima uang dari pihak pembeli lahan.
Fransisca mengaku pernah melihat kwitansi tersebut dari notaris yang melakukan pencatatan atas lahan tersebut.
Dalam kwitansi, akunya, dinyatakan bahwa pembayaran itu untuk tanah atas nama Djoni Hidayat.
Padahal, Djoni tak pernah menerima uang yang disebutkan dalam kwitansi tersebut.