Selain itu ada juga kaitannya dengan perbedaan hasil pembahasan dan penetapan NJOP dari Rp 10 juta menjadi hanya Rp 3,1 juta.
’’Jelas ada indikasi permainan,’’ tandas Uchok.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD DKI Muhamad Taufik menilai, mekanisme penghitungan kantor jasa penilai publik (KJPP) yang digandeng BPRD DKI juga harus diperiksa karena merugikan pemprov.
Menurut dia, tidak ada NJOP semakin lama harganya turun.
’’Ngaco itu menghitungnya. Memang kalau rumah kita lagi disegel terus NJOP-nya turun. Kan tidak,’’ tegas Taufik kepada Wartakotalive.com, beberapa waktu lalu.
Menurut Taufik, teori penghitungan NJOP itu ada dua cara. Pertama dengan menghitungnya berdasar perolehan tanah tersebut.
Misalnya, pulau reklamasi berapa besar dana yang diperlukan untuk membuat pulau reklamasi itu.
’’Dari situ juga bisa ditentukan NJOP,’’ jelas Taufik.
Kedua, kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Gerindra DKI menghitung NJOP berpatokan dari NJOP di wilayah sekitar pulau tersebut.
’’Jadi dari tanah-tanah yang di sekitar situ ditentukannya,’’ ungkap Taufik.
Nah, penghitungan yang dilakukan KJPP jelas ngawur dan polisi harus juga memeriksanya.
‘’’Harga normal NJOP di pulau C dan D seharusnya berkisar antara Rp 20 - 25 juta per meter,’’ terang Taufik.
Dia menegaskan, penghitungan ngawur tersebut membuat negara merugi terkait pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
’’Iya dong BPHTB dibayar Rp 400 milliar, akibat NJOP Rp 3,1 juta. Seharusnya lebih dari itu,’’ tandas Taufik. (Theo Yonathan Simon Laturiuw)