Dalam konsep tersebut, Vestifarm membuat semacam kontrak bagi hasil kepada investor dan peminjam secara terpisah. Sampai sejauh ini, pendanaan yang telah disalurkan melalui Vestifarm tercatat sebesar Rp 9 miliar lebih.
Untuk mitigasi risiko, Tim Vestifarm juga melakukan survei langsung ke lokasi calon peminjam. Meski begitu, Dharma meneruskan, risiko dalam berinvestasi di sektor pertanian tetap ada, misalnya akibat faktor cuaca.
Terlebih, Vestifarm tidak menggunakan asuransi dalam skema investasi yang ditawarkannya. Oleh sebab itu, dalam kontrak kerjasama yang dibuat, Vestifarm memuat klausul-klausul secara detil.
Permasalahan identik juga ditemui oleh Wineka dalam mengembangkan platform-nya, yakni Tani Fund. Ia berujar, sebenarnya sektor pertanian adalah penyumbang terbesar ke-2 Gross Domestic Product (GDP) Indonesia di tahun 2016.
Meski begitu, masih banyak potensi yang belum tergali maksimal dari sektor ini. Lahan pertanian darat, misalnya, masih memiliki potensi sebanyak 14 juta hektare yang bisa digarap. Belum lagi untuk sektor yang berkaitan dengan kelautan.
Usia para petani pun sebagian besar (61%) lebih dari 45 tahun. Hal ini menyiratkan minat generasi muda terhadap sektor pertanian masih rendah.
Selain itu, masalah rentenir juga menjadi tantangan tersendiri. Untuk soal ini, Tani Fund melakukan pendekatan edukatif kepada rentenir yang ternyata juga sebagian adalah petani itu sendiri.
Yang jelas, berinvestasi di sektor pertanian cukup menjanjikan. Apalagi bila diiringi dengan aspek sosial, seperti membantu meningkatkan kesejahteraan petani atau peternak.