Ada yang datang dari Tasikmalaya, Surabaya, Semarang, Solo dan bahkan dari Palembang, Sumatera Selatan. Puluhan gerobak diparkir di sekitar SPBU. Pemandangan ini sangat berbeda pada hari biasa.
Dewi, pengemis berkedok manusia gerobak yang sedang mangkal, mengaku berasal dari kota Surabaya, Jawa Timur. Ia merantau ke Jakarta seorang diri sejak awal ramadan.
Di dalam gerobak miliknya, hanya terdapat pakaian, tikar dan sebagainya. Tidak ada barang rongsokan yang menandakan dirinya pemulung.
"Suami sama anak di kampung. Bulan puasa dan lebaran kan banyak yang kasih sedekah. Lumayan, daripada di kampung," katanya kepada Warta Kota.
Demikian pula dengan Tuti, pengemis asal Palembang, Sumatera Selatan. Ia mengemis bersama seorang anaknya yang masih gadis bernama Febi.
"Di sini kalau malam ramai, banyak teman-teman. Bisa 25 sampai 30 orang. Kalau siang mencari biar gak digaruk Satpol PP," ucapnya.
Ia memperkirakan pengemis musiman yang ada di kawasan Menteng, Jakarta Pusat berjumlah ratusan. Pada siang hari, mereka ada yang berkeliling komplek dan ada juga yang beristirahat di taman.
"Bisa ratusan. Pangkalannya kan gak cuma di sini doang," ujarnya.
Ujang, pengemis asal Tasikmalaya, Jawa Barat, juga rela meninggalkan keluarga di kampung untuk mengemis di Jakarta selama ramadan dan lebaran. Ia mengaku tidak terlalu takut dengan razia Satpol PP.
"Kalau jaman Ahok ngeri. Digaruk melulu. Jaman Anies longgar lah, tapi saya tetap waspada," kata Ujang.
Ia mengatakan, malam takbiran dan hari lebaran adalah momen yang sangat ditunggu-tunggu. Sebab, setiap masjid menyalurkan zakat, infaq dan sedekah kepada fakir miskin. Dari satu masjid, mereka biasanya mendapatkan santunan Rp 50.000.
"Tinggal fotocopy KTP banyak-banyak, terus kasih ke panitia di masjid. Nanti, sore sebelum malam takbiran, tinggal ambil uangnya dengan kasih unjuk KTP asli," ucap Ujang.
Penulis: Hamdi Putra