“Nah jadi itu. Jadi kita harus bersyukur kalau ada kemarin hal-hal yang sedikit riak-riak itu sebenanya adalah bumbu-bumbu demokrasi lah. Lebih baik seperti itu dari pada terlihat suasana yang Adem, tapi sebenarnya terlihat mencekam Kalau itu terjadi, ledakannya bisa seperti di Suriah, Irak, Afghanistan. Tentunya kita tidak ingin seperti itu. Mari kita berikan semacam kanalisasi terhadap sesuatu yang bisa menimbulkan ledakan dalam batin kita masing-masing,” tutur peraih Doktoral dari Universitas Leiden, Belanda ini.
Karena bulan suci Ramadan ini menurutnya betul-betul sangat indah karena bisa mendamaikan semua orang serta bisa menyejukkan situasi.
“Dimana malam malam kita bisa pergi untuk bertarawih bersama, kemudian di dalam masjid sudah tidak adalagi yang namanya 01 atau 02. Hilanglah semua itu di dalam masjid. Yang ada hanya Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Allahu Akbar, kan seperti itu,” ungkap peraih Pascasarjana dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Untuk itu dirinya juga menghimbau kepada para seluruh tokoh-tokoh bangsa, tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk bisa memelihara dan menahan diri untuk tidak memberikan statement yang bisa membikin situasi menjadi keruh kembali. Setelah Ramadan ini nanti tentunya semua pihak harus tetap bisa mendinginkansituasi.
“Hemat saya, bukan orang hebat, bukan oranglah pintar yang tidak pernah me-ngerem apapun yang ada di dalam benaknya. Tidak mesti harus mengungkapkan semua uneg-uneg (perasaan yang terpendam) yang mampir di Kepala kita. Karena orang yang matang adalah orang yang mampu untuk bicara seperlunya," tuturnya.
Karena menurut mantan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam di Kementerian Agama ini, kalau tidak ada keuntungannya tentunya kenapa harus bicara yang bisa membuat suasana menjadi keruh.
“Biarkanlah kita pendam sendiri saja. Biarkanlah orang lain mungkin jatuh, tapi jangan karena dari mulut kita. Mari kita jangan menjadi faktor penyebab situasi semakin keruh, tapi jadilah faktor yang dapat membikin situasi menjadi lebih tenang,” katanya.