News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hubungan Tattoo 'Demi Tuhan ku Mencitai Mama' dengan Pertobatan Man Rambo Sebagai Preman

Editor: Imanuel Nicolas Manafe
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Man Rambo (57) saat beristirahat di Kramat Jati, Jakarta Timur, Jumat (7/6/2019)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pegiat anti narkoba bernama Satuman (57) mulai dikenal publik atas kampanyenya menyosialisasikan bahaya narkoba dengan cara berjalan kaki dari Surabaya ke Jakarta.

Pria yang sering disapa Man Rambo ini menyimpan segudang cerita saat dirinya masih berada di lingkungan yang kelam.

Baca: Teror di Pospam Kartasura : Terduga Masuk Kategori Lone Wolf Hingga Pernah Diingatkan Orangtua

Ia pun tak segan membagikan ceritanya tersebut.

Man Rambo mengaku telah menjajal 'kerasnya' bertahan hidup di Ibukota Jakarta maupun di Surabaya medio tahun 70 hingga 80-an.

Terluka karena berkelahi dengan tangan kosong, senjata tajam, dihujam timah panas polisi hingga mendekam selama 12 tahun di Penjara Kalisosok, Surabaya pernah dia jalani.

"Banyak cerita yang enggak saya banggakan, tapi itu perjalanan hidup saya. Saya dulu preman, pernah dipenjara juga. Sudah saya lalui semua, Alhamdulilah sekarang saya bisa jadi orang yang lebih baik," kata Man Rambo di Kramat Jati, Jakarta Timur, Jumat (7/6/2019).

Pun pernah berkutat di dunia kriminal, Man Rambo bersyukur tak pernah menjajal kenikmatan sesaat yang ditawarkan jerat narkotika.

Namun dari semuanya, yang sangat dia syukuri yakni kisah cintanya dengan mendiang istri bernama Halimah, perempuan yang mampu mengubah hidupnya.

"Semenjak saya kenal cinta, saya berubah. Saya bisa berubah jadi lebih baik ya setelah menikah dengan almarhum istri saya. Kalau enggak mengenal cinta dan almarhum istri saya enggak tahu sekarang bagaimana," ujarnya.

Pertemuannya dengan almarhumah sang istri terjadi di Surabaya sekitar tahun 1990 an atau tak lama usai menjalani hukuman penjara ketiganya di Penjara Kalisosok.

Setelah menikah, dia sepenuhnya meninggalkan dunia kelam dan beralih profesi jadi sopir angkot di Surabaya hingga sekarang.

"Enggak lama saya keluar penjara saya menikah, sekitar 15 tahun saya hidup bersama istri. Sampai akhirnya dia meninggal karena sakit, kalau anak saya enggak punya. Tapi ada anak tiri," tuturnya.

Nama Man Rambo yang sendiri merupakan kependekan dari Manusia Raja Mabok, sebutan yang tak lagi dibanggakan namun masih melekat pada dirinya.

Malang-melintang di ranah kriminal Ibu Kota dan Surabaya selama puluhan tahun membuatnya tak sulit menemukan alasan untuk meninggalkan dunia yang memberinya segunung kisah.

"Setelah menikah saya mikir, kalau saya dipenjara lagi bagaimana nasib istri saya. Bagaimana kalau nanti saya punya anak, siapa yang kasih makan mereka kalau saya dipenjara. Saya dipenjara dapat makan, tapi anak dan istri saya bagaimana?" lanjut Man Rambo.

Bagi mantan narapidana Man Rambo menyebut hanya ada dua pilihan, yakni berobat atau justru menjadi penjahat kambuhan dan kian bengis.

Beruntung pria yang sudah tiga kali berjalan kaki Surabaya-Jakarta demi memperingati hari kemerdekaan Indonesia dan menggaungkan bahaya narkoba tak jatuh di pilihan kedua.

"Saya fokus kampanye bahaya narkoba juga setelah melihat teman saya yang masuk penjara karena narkoba. Anak pertamanya meninggal pas dia masih ditahan. Dari situ saya sadar bahaya narkoba," sambung dia.

Dari semua jejak perjalanan kelam yang terukir di tubuhnya, Man Rambo merelakan bagian lengan kanannya dirajah sebagai bentuk cinta ke mendiang sang istri.

Meski akhirnya menyesal karena merajah tubuh, tato itu diakui sebagai bentuk cinta terhadap istrinya.

"Ini tulisannya 'Demi Tuhan ku mencintaimu Mama'. Saya menyesal bukan karena kalimat dan istri saya meninggal. Tapi karena tatonya itu sendiri, tapi sudah terlanjur. Tanpa tato ini saya tetap mencintai almarhum istri," kenang dia.

Dari semua sepak terjangnya di dunia kriminal, Man Rambo bersyukur tak seumur hidupnya tak pernah menyakiti almarhumah istri dan anak tirinya.

Man Rambo menyebut laki-laki yang menyakiti dan menelantarkan istri dan anaknya merupakan pria hina yang bahkan lebih rendah dari seorang kriminal.

"Seorang laki-laki harusnya enggak menyakiti istri dan anaknya. Laki-laki yang menyakiti istri dan anaknya itu lebih hina dibanding pemakai narkoba, dibanding kriminal," kata Man Rambo.

Dia menyebut seorang kriminal acap kali lahir dari keadaan yang memaksa sehingga nekat melawan hukum demi keluarganya sebelum akhirnya jadi penjahat kambuhan.

Sementara pria yang menyakiti istri dan anaknya mendasari perbuatannya hanya karena emosi dan ingin mendominasi dalam keluarga.

"Waktu saya dipenjara, saya satu sel dengan pembunuh dan perampok. Tapi banyak yang tetap ingat keluarga, mikir bagaimana nasib istri dan anaknya di rumah. Mereka menyesal dan akhirnya bertobat," ujarnya.

Rasa cinta terhadap keluarga jugalah yang selalu dia gunakan jadi 'senjata' menasihati penyalahguna narkotika yang ditemui selama perjalanan ratusan kilometer Surabaya-Jakarta.

Dia yakin seorang ayah harusnya dapat menjadi sosok panutan bagi anaknya, sementara seorang anak harus jadi sosok yang dibanggakan kedua orang tua.

"Ayah itu harus jadi panutan buat anak, dan seorang anak harus jadi sosok yang dibanggakan kedua orang tua. Jangan seorang ayah sampai dibenci anaknya, seorang anak bikin nangis orang tua," tuturnya.

Man Rambo membenci ayah yang menyakiti istri dan anaknya bukan tanpa alasan, pengalaman memiliki ayah tiri yang menyakiti ibunya membuat dia mengenal penderitaan.

Kala adiknya sakit, ibunya pernah berusaha menjual sejumlah piring dan gelas ke pasar demi biaya berobat adiknya ke rumah sakit.

Puluhan pedagang di pasar ibunya datangi berharap ada yang berbaik hati membeli, nahas upaya ibu Man Rambo gagal sehingga pulang tanpa hasil.

"Ibu saya nangis pulang ke rumah, enggak punya duit. Habis itu saya menjambret, sebagian uang saya kasih ibu untuk biaya berobat adik. Waktu itu biaya berobat Rp 750 perak. Alhamdulillah adik saya sembuh. Sampai sekarang masih ada di Surabaya," kenang Man Rambo.

Kepada para generasi muda, Man Rambo berpesan agar memanfaatkan umurnya untuk berkarya sehingga dapat membanggakan keluarga.

Khusus laki-laki dia berpesan agar kelak tak menyakiti istri dan anaknya, terlebih sampai memukuli keluarga yang harusnya dia lindungi.

"Seorang laki-laki harusnya enggak mukulin istri dan anaknya. Saya lebih benci laki-laki yang mukulin istri dan anaknya ketimbang pemakai narkoba," sambung dia.

Selain tato 'Demi Tuhan ku mencintaimu Mama', Man Rambo menyebut tato bertuliskan 'Jangan ada dusta' di lengan kirinya merupakan ukiran paling berkesan yang menjamah tubuhnya.

Baca: Namanya Kaslan, Satu di Antara Sedikit Sosok yang Memilih Mencari Nafkah saat Lebaran

Kalimat yang dia buat tak lama usai keluar dari Penjara Kalisosok merupakan pengingat untuk selalu menepati apa yang diucapkan.

"Jangan ada dusta ini artinya saya selalu berkata jujur dan selalu memegang teguh apa yang saya ucapkan. Kalau dibilang bangga dengan tato ini enggak ya, tapi ini paling berkesan," kata dia.

Penulis : Bima Putra

Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul : Man Rambo, Mantan Narapidana yang Bertobat karena Cintanya Kepada Sang Istri

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini