News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Peredaran Narkoba

Rumah Mewah di Kalideres Digerebek Polisi, Diduga Digunakan Sebagai Pabrik Sabu

Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kapolres Metro Jakarta Barat, Kombes Pol Hengki Haryadi saat meninjau lokasi kebakaran Tomang, Selasa (22/1/2019).

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Elga Hikari Putra

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebuah rumah mewah di Perumahan Citra 2, Kalideres, Jakarta Barat digrebek aparat Polres Metro Jakarta Barat.

Kapolres Metro Jakarta Barat, Kombes Pol Hengki Haryadi mengatakan penggerebekan terhadap rumah dua lantai itu dilakukan karena rumah tersebut dijadikan pabrik pembuatan sabu.

"Satu tersangka berinisial MS (42) sudah kami amankan dalam kasus ini," kata Hengki kepada wartawan, Minggu (23/6/2019).

Hengki mengatakan saat diamankan MS kedapatan sedang membuat sabu.

Baca: Sikapi Kasus Asusila Guru dengan Siswi SMP di Serang, KPAI Usul Pemasangan CCTV di Sekolah

Baca: Walhi DKI: Anies Punya Pilihan Tidak Terbitkan IMB Pulau Reklamasi, Tetapi Ini Tetap Dilakukan

"Barang bukti yang diamankan yakni alat-alat prekusor dan bahan pembuat Sabu," kata Hengki.

Kendati demikian, Hengki belum menjelaskan detail sudah berapa lama rumah tersebut dijadikan pabrik sabu.

"Besok kami akan melaksanakan olah TKP bersama Labfor dan dilaksanakan press rilis di lokasi," kata Hengki.

Kerap jadi isu politik

Pengajar hukum acara pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Choky Ramadhan meminta Undang-undang Nomor 35 Tahun 2019 Tentang Narkotika direvisi.

Menurutnya, revisi harus mengakomodasi secara seimbang sisi pencegahan dan penindakan.

"Kebijakan narkoba di Indonesia kerap kali menjadi isu politik, termasuk calon presiden dalam kampanye menggaet suara konstituen, meski dalam prioritas utamanya telah terlihat didorongnya pendekatan preventif dalam menangani permasalahan narkotika," ujar Choky ketika ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (23/6/2019).

Choky menilai pencegahan narkoba di Indonesia masih menekankan tindakan represif terhadap objek perdagangan narkoba.

Baca: Walhi DKI: Anies Punya Pilihan Tidak Terbitkan IMB Pulau Reklamasi, Tetapi Ini Tetap Dilakukan

Baca: Kecelakaan Antara Bus Rosalia Indah dan Mobil di Desa Klero, 6 Orang Tewas

Baca: Respons KPAI Sikapi Kasus Asusila Guru dengan Siswi SMP di Serang: Kepala Sekolah Lalai

Sepanjang 2014-2019, tercatat sejumlah kebijakan seperti tembak mati tersangka kasus narkoba, pencabutan moratorium hukuman mati, hingga kriminalisasi pengguna narkoba.

Ia menilai pemerintah keliru dalam menangani masalah narkoba.

Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) menggagas buku Anomali Kebijakan Narkotika sebagai sebuah sumbangsih pada diskursus mengenai perkembangan kebijakan narkotika ke depan. (Tribunnews.com/ Ilham Rian Pratama)

Sejumlah kebijakan pemberantasan narkoba dibuat tanpa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan.

"Tentunya, hal ini mengakibatkan dampak yang lebih buruk baik bagi pemerintah maupun masyarakat, seperti overcrowding sampai gagalnya program kesehatan masyarakat yang diinisiasi pemerintah," ungkap Choky.

Sementara, Pemerhati kebijakan narkotika Alfina Qisti menilai rehabilitas terhadap pengguna narkoba harus ditekankan.

Ia menilai perlu proses panjang untuk membuat pemerintah dan penegak hukum untuk memahami hal itu.

"Sehingga memerlukan penanganan yang bersifat komprehensif. Cara demand reduction juga tidak hanya perawatan dan rehabilitasi, ada informasi pendidikan, pengobatan dan pencegahan kambuh," katanya.

Menurutnya, setiap pengguna narkoba tak bisa diberikan perawatan yang sama.

Setiap individu memiliki penanganan yang berbeda.

Baca: Rossi Belum Bisa Capai Podium Tertinggi Jelang Berakhirnya Kontrak dengan Yamaha

Baca: Diajak Berduet oleh Maria Sharapova, Begini Tanggapan Andy Murray

"Pemberian pelayanan perawatan dan rehabilitasi bagi pengguna narkotika merupakan hak dasar atas kesehatan yang harus dipenuhi, sama seperti pelayanan kesehatan lainnya yang diberlakukan bagi kelompok masyarakat lainnya," ujarnya.

Pengajar HAM FH Unika Atmajaya Asmin Fransiska menambahkan, kebijakan narkotika yang akuntabel juga perlu terwujud.

Implementasi kebijakan tersebut idealnya secara rutin dievauasi dan dikembangkan demi kepentingan banyak pihak, terutama mereka yang terdampak peredaran narkotika ilegal.

"Kita dapat berkaca pada apa yang dilakukan oleh banyak negara yang telah memulai reformasi kebijakan narkotika dengan riset yang objektif berdasarkan ilmu pengetahuan serta bertujuan mengurangi dampak kesehatan dan bukan semata-mata menghukum," katanya.

Buku 'Anomali Kebijakan Narkotika'

 Indonesia bersama negara-negara lain di seluruh dunia akan memperingati Hari Internasional Melawan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Obat atau Hari Anti Narkotika Internasional pada 26 Juni 2019.

Peringatan tersebut menjadi pengingat bagi semua orang bahwa pada tahun ini Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah diimplementasi selama sepuluh tahun di Indonesia.

Atas hal itu, Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) menggagas buku 'Anomali Kebijakan Narkotika' sebagai sebuah sumbangsih pada diskursus mengenai perkembangan kebijakan narkotika ke depan.

Baca: Deepika Padukone Dilirik Sutradara untuk Film Imali Usai Kangana Ranaut Mengundurkan Diri

Baca: Terungkap 3 Guru SMP di Banten Cabuli 3 Siswi Bersamaan di Ruang Komputer

Baca: Jadwal Lengkap MotoGP Assen 2019, Live Streaming di Trans7 Minggu Depan

Baca: Ulat Bulu Serang Sentra Bunga Kenanga di Pasuruan

Pengajar hukum acara pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Choky Ramadhan mengatakan, gagasan mereka dikumpulkan agar memudahkan bagi para pemangku kepentingan dalam mencari dan menggunakan rujukan dalam mengatur kebijakan narkotika.

“Beberapa tulisan berkualitas dalam buku ini menawarkan perspektif alternatif selain pendekatan punitif yang perlahan dikritisi dan ditinggalkan banyak negara,” ujar Choky di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (23/6/2019).

Sementara, Koordinator Nasional PKNI Samsu Budiman mengingatkan pentingnya membangun narasi yang humanis untuk kebijakan narkotika.

Menurutnya, pemerintah harusnya lebih manusiawi dalam membuat kebijakan terkait narkotika, tidak serta merta memandang supply and demand saja karena banyak faktor yang menyebabkan manusia terjerumus dengan narkotika.

“Permasalahan ini tidak bisa diselesaikan melalui satu cara pendekatan saja, namun harus dilakukan melalui pendekatan secara komprehensif, baik secara sosiologis, psikologi dan hukum,” katanya.

Koordinator Monitoring dan Evaluasi Rumah Cemara Arif Rachman Iryawan meluruskan tentang bagaimana demand reduction seharusnya dipahami.

Kebijakan demand reduction harus ditujukan untuk pencegahan penggunaan narkotika dan pengurangan konsekuensi buruk akibat penyalahgunaan narkotika.

“Selain itu kebijakan demand reduction juga harus mendorong partisipasi yang terkoordinasi dari setiap individu di level komunitas, sensitif gender dan budaya, serta kontribusi dalam pengembangan dan menciptakan lingkungan yang mendukung secara berkelanjutan,” ujarnya.

Senada, penulis Alfiana Qisthi yang menekankan pemahaman yang tepat tentang perawatan dan rehabilitasi narkotika.

Qisthi mengatakan, perawatan dan rehabilitasi bagi korban narkotika merupakan suatu proses yang panjang dimana banyak individu membutuhkan beragam intervensi dan monitoring yang berkala, sehingga memerlukan penanganan yang bersifat komprehensif.

“Tidak ada suatu jenis metode perawatan dan rehabilitasi dapat diterapkan kepada setiap individu. Kebutuhan setiap individu adalah unik dan berbeda satu sama lain,” katanya.

Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Polres Metro Jakarta Barat Gerebek Rumah Mewah di Kalideres yang Diduga Jadi Pabrik Sabu 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini