TRIBUNNEWS.COM - Paskibraka asal Tangerang Selatan bernama Aurellia Qurratuaini meninggal diduga karena mengalami kekerasan fisik dari senior saat latihan.
Menanggapi hal itu, Ketua Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Tangerang Selatan Warta Wijaya membantahnya.
Baca: Daftar Lengkap Nama 68 Paskibraka dari 34 Provinsi Bertugas di Istana Presiden Pada 17 Agustus 2019
Menurutnya, Aurel maupun peserta paskibraka lainnya hanya diberi latihan fisik biasa dengan standar pembinaan yang sudah diatur.
"Yang pasti kita dalam pola pelatihan pendidikan paskibraka enggak ada yang namanya kekerasan atau pun body contact secara langsung kan enggak ada. Ya semua yang sudah diterapkan diajarkan itu sudah sesuai dengan standar pola pembinaan," ucap Warta saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (3/8/2019).
Warta menyebut latihan fisik wajar dilakukan karena anggota paskibraka harus melakukan baris berbaris dalam waktu yang cukup lama.
"Iya karena kan ya paskibraka kita tahu tugasnya membawa bendera duplikat pusaka baris berbaris dengan waktu yang cukup lama, yang sudah pasti dibutuhkan kebugaran sudah pasti butuh fisik yang agak beda dari yang lainnya," ujarnya.
Para anggota paskibraka sendiri diberi latihan fisik dari pukul 07.00 pagi hingga 16.30 sore.
Terkait lebam yang ditemukan di tubuh Aurel, menurut Warta tidak bisa langsung disimpulkan hasil kekerasan yang didapat dari latihan paskibraka.
Ia menyebut lebam tersebut bisa disebabkan oleh banyak faktor.
Baca: 5 Fakta Meninggalnya Paskibraka Aurellia Qurrota, Curhatan Diary hingga Dugaan Perpeloncoan Senior
"Masalah lebam kita juga belum tahu penyebabnya ini apa. Banyak faktor kan. Kalau kami ke anggota kami masih melakukan pendalaman ke anggota masing-masing ada atau tidak (kekerasan)," katanya.
"Tapi saya bisa pastikan dalam pola pembinaan kami tidak ada yang namanya unsur-unsur kekerasan," ucapnya melanjutkan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: PPI Bantah Paskibraka Tangsel Meninggal karena Kekerasan Saat Latihan
Dihukum push up tangan mengepal hingga makan kulit jeruk
Farid mengatakan, latihan paskibra yang dijalani anaknya sudah berlebihan.
Hal itu dikatakan Farid karena dirinya Purna Paskibraka.
Perlakuan berlebihan itu diberikan oleh para seniornya, bukan para pelatih Paskibra.
"Jadi campur tangan senior di luar pelatih ini ini yang merupakan teror beban psikologis yang sangat luar biasa," ujar Farid saat ditemui Kompas.com.
Selama pelatihan, almarhumah kerap disuruh melakukan push up dengan tangan dikepal.
Akibatnya, tangan almarhumah mengalami lebam.
"Kemudian push up kepal yang di aspal di mana cewe suka ada cincinnya. Ini di luar kelaziman, sedangkan pendidikan militer sendiri tidak sampai sejauh itu," lanjut Farid.
Selain itu, putrinya kerap disuruh makan jeruk beserta kulit-kulitnya.
Hal ini yang membuat mental dan keadaan fisik Aurrelia semakin turun.
Berlatih menjadi Paskibraka Tangerang Selatan selama sebulan
Sebelum meninggal dunia, Aurel mengikuti pelatihan selama sebulan untuk menjadi pasukan pengibar bendera di Lapangan Cilenggang, Serpong.
Menurut keterangan Ketua Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Tangsel, Warta Wijaya, sosok Aurel selama sebulan latihan sangat sehat.
Bahkan, Aurel lebih terlihat kuat dibanding temannya yang lain.
"Enggak pernah ngeluh anaknya, selalu ceria selama latihan," kata Warta, dikutip dari Kompas.com.
Warta mengatakan, Aurel sudah menjadi kandidat pembawa baki yang akan menyerahkan atau menerima bendera merah putih dari Wali Kota Tangsel.
"Aurel sejatinya masuk kandidat pembawa baki. Dengar kabar begini kaget pastinya, enggak nyangka," ujarnya.
Buku diary dirobek-robek
Pada Rabu (31/7/2019), Aurel pulang ke rumah setelah menjalani latihan bersama tim Paskibraka Tangerang Selatan.
Dalam keadaan lelah, dia bercerita, buku diary miliknya beserta empat temannya dirobek oleh senior ketika latihan Paskibra.
Buku diary itu merupakan bagian dari tugas yang diberikan seniornya.
Buku tersebut ditulis oleh Aurellia beserta anggota yang lain sejak 22 hari selama latihan Paskibraka.
Namun, buku diary Aurel dirobek setelah dikoreksi oleh para senior.
Setelah disobek, Aurel diharuskan menyalin buku tersebut dalam waktu dua hari.
"Ini salah satu bentuk psikologis yang luar biasa kalau menurut kami mengakibatkan down mental dan fisik."
"Akhirnya dia jam satu mencoba bangun untuk nulis lagi, nggak bisa selesai," kata Farid saat ditemui Kompas.com di kediamannya, Jumat (2/8/2019).
Takut komplain senior
Farid mengungkapkan, selama mengikut pelatihan Paskibraka Tangerang Selatan, Aurel berlatih dengan semangat dan serius.
Walaupun latihan yang diterapkan cukup keras hingga menguras tenaga.
Bahkan, tidak jarang para anggota termasuk dirinya mendapat hukuman dari para seniornya.
Namun, Aurel memilih untuk tidak meminta tolong orang tuanya agar komplain kepada para senior karena pola latihan tersebut.
Farid mengatakan, jika orangtua komplain dengan cara latihan Paskibraka, maka para anggota justru akan diberi latihan lebih keras lagi.
"Pernah anak saya cerita bahwa ada yang komplain, akhirnya mereka dihukum semakin berat."
"Itu yang membuat anak-anak takut berbicara yang sebenarnya," ucap dia.
Aurrel tidak memberi tahu perlakuan yang dia alaminya sedari awal.
Dia berusaha memendam masalahnya tersebut walaupun belakang dia sempat membuka suara kepada orangtuanya.
"Cuman dari dulu dia memang selalu bertanggung jawab, jadi dipendam sendiri baru akhirnya akhir ini cerita sedikit-sedikit ada hukuman yang berlebihan dari senior."
"Oknum senior bukan pelatih. Kalau pelatih pasti akan profesional," ucap dia.