Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Majid
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wartawan dan salah satu pendiri Surat Kabar Kompas, yang saat ini menjabat sebagai Presiden Direktur Kelompok Kompas Gramedia, Jakob Oetama mendapatkan penghargaan sebagai Bapak Jurnalisme Modern Indonesia dari Achmad Bakrie XVII di Gedung Djakarta Theater, Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Penghargaan Achmad Bakrie merupakan tradisi penganugerahan kepada para tokoh inspirasional yang telah berjasa bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Tokoh-tokoh yang dipilih untuk adalah insan-insan terbaik dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, serta mereka yang telah membaktikan hidupnya di bidang kemanusiaan.
“Kecerdikan visionernya membangun jurnalisme kepiting yang memungkinkan Kompas bertahan sebagai bagian pilar demokrasi yang keempat di tengah iklim politik yang otoriter, sekaligus kelompok usaha yang dinamis di tengah situasi ekonomi yang tak menentu,” kata Ketua pelaksana Ardiansyah Bakrie menilai Jakob Oetama.
Wakil Pemimpin Umum Kompas Rikard Bagun yang hadir mewakili Jakob Oetama pun menyampaikan rasa terima kasih kepada Bakrie Award yang telah peduli dengan karya seseorang di tengah krisisnya penghargaan di Indonesia.
“Penghargaan ini sangat luar biasa. Dan maknanya yang berlipat-lipat karena penghargaan ini diterima pada masa krisis penghargaan dari bangsa kita sekarang ini, sikap saling menghargai itu sangat krisis besar,” kaya Rikard Bagun.
Dalam kesempatan itu, Rikard juga turut menjelaskan makna Jurnalisme kepiting yang melekat pada surat kabar Kompas.
“Jurnalisme kepiting. Dari Pak Jakob tidak pernah menyebut seperti itu. Itu kata-kata dari pak Rosian Anwar. Karena Pak Rosian bahwa kompas kalau lagi mengukur, ada hal yang harus didorong, dibuka ke publik akan maju, tetapi begitu ada fakta, ada rambu yang berbahaya dia akan mundur.Dan ini adalah yang dimaksudkan jurnalisme kepiting. Kapan dia maju dan kapan dia akan mundur,” jelasnya.
Dalam malam penghargaan ini, Achmad Bakrie Award juga memberikan kepada tiga orang lainnya yang dinilai telah menghasilkan karya positif untuk masyarakat Indonesia.
Mereka adalah Ashadi Siregar yang dijuluki sastra populer dengan karya trilogi "Cintaku di Kampus Biru” (1974), "Kugapai Cintamu” (1974), dan "Terminal Cinta Terakhir" (1975). Ia berhasil membuka babak baru penulisan novel populer di negeri ini. Temanya memang lazim dalam genre sastra pop.
Kemudian Anna Alisjahbana di bidang kedokteran. Wanita 88 tahun tersebut berhasil memperbaiki kualitas anak Indonesia secara holistik dan integratif, antara lain mengilhami pengembangan perangkat inovatif dan tepat guna DDTK (Deteksi Dini Tumbuh Kembang).
Temuannya ini bertujuan menjaring anak dengan gangguan perkembangan pada masyarakat rentan dan kurang mampu, yang diterapkan pada Taman Posyandu, PAUD dun pendidikan keluarga, untuk mempersempit kesenjangan anak desa kota.
Dan terakhir, Anawati (Sains) yang sukses mengatasi kualitas air minum perdesaan di Sumbawa yang hampir sebagiannya terkontaminasi logam berat.
Risetnya tentang Tubular Anodic Aluminium Oxide (AAO) dan gagasannya memanfaatkan teknologi pelapis bahan lokal, telah membantu masyarakat Sumbawa.