TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelebaran pedestrian atau trotoar di area sekitar Jalan Kemang Raya, Kelurahan Bangka, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan dikeluhkan warga setempat.
Sebab, pelebaran trotoar itu memakan sebagian lahan usaha warga tanpa didasari aturan yang jelas.
Baca: Pascaledakan, Anies Perintahkan UPT Monas Sisir Seluruh Kawasan
Kamilus Elu, kuasa hukum pengusaha dan warga yang terdampak pelebaran trotoar di Jalan Kemang Raya, menyampaikan sebelumnya sudah ada pertemuan antara warga pemilik dan pengguna lahan terdampak pelebaran trotoar di Kemang.
Hasilnya, warga pemilik dan pengguna lahan menolak jika lahannya dijadikan trotoar.
“Kami yang terdampak tidak setuju lahan kami dijadikan trotoar. Karena mengganggu usaha kami, beda tinggi trotoar menyulitkan akses masuk, sulit parkir, usaha jadi sepi,’ kata Kamilus, Selasa (3/12/2019).
Kamilus yang merupakan mantan staf khusus bidang pengaduan masyarakat Provinsi DKI Jakarta era Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menyampaikan, pertemuan antara warga pemilik dan pengguna lahan terdampak pelebaran trotoar di Kemang Raya digelar setelah surat yang ditujukan ke Dinas Bina Marga dan Biro Hukum DKI Jakarta tidak mendapat respons.
Menurut Kamilus, warga pemilik dan pengguna lahan yang terdampak pelebaran trotoar sudah berulangkali menanyakan dasar aturan yang mengharuskan warga pemilik dan pengguna lahan menandatangani surat perjanjian kerja sama tentang pelebaran trotoar tersebut.
Kamilus mencontohkan, surat perjanjian kerja sama biasanya terbit melalui Peraturan Gubernur (Pergub) untuk pembangunan fasilitas umum di lahan milik pemerintah daerah.
“Misalnya mau bangun sekolah di lahan Pemda, itu ada Pergub untuk surat perjanjian kerja sama, nanti ada retribusinya. Nah untuk di
Kemang ini dasar surat perjanjian kerja samanya apa? Ini kan lahan warga dan tidak ada Pergubnya,” ucapnya.
Baca: Serahkan Raperda APBD DKI Tahun 2020 ke Dewan, Anies Harap Jadi Perda Sesuai Jadwal
Kamilus mengatakan, surat perjanjian kerja sama itu tidak memiliki masa berlaku dan dianggap tetap mengikat meski pada lain waktu terjadi peralihan pengguna atau hak milik atas lahan yang dijadikan trotoar tersebut.
“Kalau ditotal, luas lahan warga yang diambil jadi trotoar sangat besar. Ada unsur intimidasi, bangunan diancam disegel, perizinan-perizinan gedung yang tidak ada kaitan dengan trotoar juga dipermasalahkan, izin usaha diancam dicabut, bahkan logistik restoran pun sampai diteror, bila tidak mau tanda tangan PKS,” kata Kamilus.