RIBUNNEWS.COM - Kasus penembakan yang terjadi di depan Ruko Royal Gading Square, Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Kamis (13/8/2020) telah menyita perhatian masyarakat.
Tidak hanya caranya menghilangkan nyawa orang dengan cara sadis, namun juga terdapatnya 12 orang tersangka yang terlibat didalamnya.
Bagaimana sekian banyak orang bisa melibatkan diri dengan sengaja dalam misi pembunuhan berencana di Kelapa Gading?
Menjawab pertanyaan di atas, ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amrie membeberkan sebuah teori.
"Ada uang Rp 200 juta, masuk akal untuk menduga bahwa terdapat motif finansial. Tapi itu tampaknya bukan pendorong utama."
"Adanya kekerabatan tertentu antarpelaku, yang diwarnai groupthink, sepertinya lebih relevan untuk menyoroti kasus tersebut," katanya kepada Tribunnews, Rabu (26/8/2020).
Diungkap oleh pihak kepolisian, diketahui sebelumnya, 10 dari 12 tersangka kasus penembakan tersebut merupakan berasal dari satu kelompok doa yang sama di satu daerah di Kota Lampung.
Sedangkan kelompok tersebut sudah lama bubar karena ketua komunitas doa tersebut telah lama meninggal.
Namun anggota komunitas ini masih memiliki ikatan satu dengan yang lain.
Kemudian di mana anak dari ketua komunitas tersebut yang tidak lain dan tidak bukan bernama Nur Luthfiah meminta kepada 10 tersebut untuk meminta bantuan untuk membantunya membunuh Sugianto.
Baca: Polisi Cari Saksi-saksi dan Alat Bukti Terkait Kasus Penembakan Meski Korbannya Belum Melapor
Baca: Bermula Dari Kesurupan, Pelaku Utama Kasus Penembakan Bos Pelayaran Terbongkar
Pria yang juga sebagai konsultan Lentera Anak Foundation ini melanjutkan pembahasan soal teori groupthink.
Menurut dia, groupthink berawal dari desakan waktu yang memaksa sekumpulan orang harus membuat keputusan secepat-cepatnya.
Dengan pertimbangan yang terlalu sederhana, demi mempertahankan identitas mereka sebagai sebuah kelompok.
"Dalam kasus Kelapa Gading, sekian banyak orang akhirnya terperangkap dlm groupthink demi mempertahankan ikatan kelompok mereka."