TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekitar 9,5 juta tenaga kerja Indonesia akan terdampak langsung oleh teknologi berbasis kecerdasan buatan sampai tahun 2028. Begitu prediksi Oxfoord Economics dan Cisco tahun 2017.
"Kita ditantang untuk menghasilkan 600 ribu talenta digital setiap tahun. Mampukah pendidikan kita menjawab tantangan tersebut," ungkap anggota penasehat PWI Pusat, Eduard Depari mengawali paparannya saat webinar Industri Kreatif bertajuk "Industri Kreatif di Masa Pandemi: Mengubah Tantangan Menjadi Peluang," yang digelar dari Candi Bentar Hall, Ancol, Jakarta Utara, Minggu (7/2/2021).
Webinar tersebut dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN) 2021 ini dimoderatori Sekjen PWI Pusat, Mirza Zulhadi.
Pembicara lain yang hadir entreprenuer mentor Didiet Maulana, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Hikmat Kurnia, dan Program Director Katapel.id Robby Wahyudi. Ketiganya hadir melalui fasilitas Zoom.
Eduard menjelaskan, masalah pokok kesenjangan talenta digital bangsa ini adalah pendidikan. Maka, sebagai lembaga pendidikan informal, menurut dia, pers memiliki tanggung jawab untuk ikut mengambil bagian dalam proses pendidikan melalui pesan-pesan yang disampaikan secara terbuka pada publik.
Namun ia menekankan peran pers juga harus dilihat proporsional. "Pers tuh overshow, dianggap penyebab perubahan.
Terlalu berlebihan. Pers juga punya masalah. Kita lihat dampak perubahan tadi, sirkulasi surat kabar menyusut, media cetak tenggelam, penonton televisi berkurang," tuturnya.
Di era pandemi seperti sekarang, masyarakat punya banyak waktu memperluas dan mengonsumsi informasi.
"Pertanyaannya adalah melalui akses mana dan apa yang mereak konsumsi. Kalau mereka melihat creative industry, apakah ikut paham atau skip? Ini pertanyaan besar yang harus dijawab supaya kita tidak melihat berlebihan peran pers dalam industri kreative," ujarnya.
Hikmat sepakat Indonesia harus menghasilkan manusia kreatif. Di situlah kekuatannya.
Pada era pandemi ini, ia melihat ada kondisi kekacauan luar biasa yang menimbulkan ketidakpastian berusaha. "Situasi pandemi mungkin berjalan sangat lama, kapan berakhir. Kita harus berpikir bagaimana menyiasati pandemi ini," ujarnya.
Bagi dunia perbukuan, beber Hikmah, dampak pandemi sangat jelas terasa. Awal pandemi bahkan laba penerbit terjun bebas di angka 20 persen.
Sebelum pandemi para penerbit terbiasa memcetak 3 ribu - 5 ribu buku. Saat pandemi pola ini berubah, penerbit dituntut berhemat cash flow.
"Pre-order sekarang sangat menjamur, buku itu belum dicetak sudah ditawarkan sehingga yang diproduksi sesuai permintaan," jelasnya.
Selain itu penerbit juga perlu mengubah orientasi marketing. Dengan adanya pandemi mengganggu jalur distribusi. "Optimalisasi pasar online menjadi faktor penting. Dengan cara ini kita mampu bisa bertahan," tegasnya.