Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum debt collector Lestly Wattimena, Henry Noya mengklaim kliennya memiliki sertifikat profesi pembiayaan Indonesia (SPPI) pada saat melakukan penarikan mobil milik selebram Clara Shinta.
Dikatakan Henry, bahwa SPPI milik kliennya itu didapat dari pihak perusahaan leasing tempat Lesly bekerja dan diberikan untuk melakukan penarikan unit mobil milik selebgram tersebut.
"Punya, jadi dalam surat tugas mereka dapat surat tugas itu salah satu dari perusahaan pembiayaan itu adalah SPPI. Cuma mungkin saja di dalam menjalankan tugas itu yang namanya orang menagih ya, situasional," kata Henry kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Senin (27/2/2023).
Baca juga: Tersangka Debt Collector yang Bentak Polisi Ajukan Restorative Justice
Dirinya pun juga berdalih, bahwa kliennya itu merupakan debt collector dan bukan seorang preman seperti kabar yang beredar belakangan ini.
Hal itu ia katakan lantaran dalam penarikan mobil Clara Shinta itu kliennya sudah mendapat legitimasi dari otoritas jasa keuangan (OJK).
"Kita sepakat untuk teman-teman bahwa yang ditangkap atau ditahan disini adalah debt collector, bukan preman. Kenapa? Karena mereka mendapat legitimasi dari regulasi OJK," ucapnya.
"DC (debt collector) ini kan mendapat sertifikasi dari OJK, SPPI namanya. Kira-kira begitu kedatangan kita disini adalah seperti itu," sambungnya.
Ajukan Restorative Justice
Salah satu debt collector bernama Lessly Watimena yang sebelumnya ditangkap jajaran Ditreskrimum Polda Metro Jaya disebut akan mengajukan restorative justice (RJ)kepada pihak kepolisian.
Kuasa hukum Lesly Watimena, Henry Noya mengatakan, adapun permohonan restorstive justice itu diajukan usai kliennya tertangkap dalam kasus melawan petugas ketika menarik paksa mobil selebgram Clara Shinta.
"Kenapa RJ? Karena inilah ruang yang dibuka oleh KUHP Indonesia, dan juga ada beberapa regulasi seperti Perpol 8 tahun 2022, bahwa kita ajukan RJ," kata Henry kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Senin (27/2/2023).
Kendati demikian, dalam pengajuan restorative justice ini dikatakan Henry pihaknya belum bertemu baik dengan Clara maupun dengan Aiptu Evin.
Baca juga: Polda Metro Jaya Masih Buru Empat Debt Collector yang Bentak Polisi
Dirinya menjelaskan bahwa pengajuan restirative justice itu baru ia sampaikan kepada pihak penyidik yang menangani kasus tersebut.
"Saya belum pernah bertemu dengan pihak korban, saya hanya mengajukan kepada penyidik bahwa kami akan mengajukan RJ, kira-kira begitu," ujarnya.
Sebelumnya diberitakan, Polda Metro Jaya telah menetapkan tujuh orang debt collector pelaku kekerasan terhadap anggota polisi dan selebgram Clara Shinta sebagai tersangka.
Direktur Reserse Kriminial Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Hengki Haryadi mengatakan, adapun dari ketujuh tersangka itu empat diantaranya saat ini masih berstatus sebagai daftar pencarian orang (DPO).
Adapun tiga debt collector yang saat ini sudah ditangkap yakni Andri Wellem Pasalbessy, Lessly Watimena dan Xaverius Rahamav.
"Dari tujuh orang ini kami konstruksikan semuanya adalah tersangka dan yang kita amankan (sementara) tiga orang," kata Hengki dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Kamis (23/2/2023).
Sementara itu, terkait empat orang debt collector yang saat ini masih buron antara lain, Erick Jonshon Saputra Simangunsong, Briam Fladimer W, Jemmy Matatula dan Jerry Hehamahwa.
Dikatakan Hengki, untuk tersangka DPO bernama Erick Simangunsong merupakan sosok yang memakai baju bergaris biru pada video viral dan melakukan pembentakan terhadap Aiptu Evin.
"Kami sedang mengejar empat orang lagi pertama bernama Erick Jonshon Saputra Simangunsong, kalo yang di media sosial yang (pakai baju) garis-garis biru," sebut Hengki.
Baca juga: Polda Metro Jaya Masih Buru 4 Debt Collector yang Lakukan Pembentakan Terhadap Anggota Polisi
"Dan ternyata yang bersangkutan ini residivis kasus penganiayaan di Banyumas. Kemudian ada tiga orang lagi inisialnya BL,JM, JH," sambungnya.
Selain itu Hengki juga menjelaskan, bahwa pasa saat kejadian itu para tersangka ini bukan hanya sekadar mamaki akan tetapi juga melakukan paksaan secara fisik dan psikis baik terhadap korban dan Aiptu Evin.
Akibat perbuatannya para tersangka dijerat dengan pasal berlapis yakni Pasal 365 KUHP dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun penjara.
Kemudian Pasal 368 KUHP dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun penjara serta Pasal 335 KUHP dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun penjara.