Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jalan Gatot Subroto, Kuningan Timur, Setia Budi, Jakarta Selatan tampak padat merayap, Selasa (21/3/2023).
Adapun jalan raya tersebut merupakan jalan yang melintasi bagian depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI, dimana sedang berlangsung aksi dari Partai Buruh dan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI).
Berdasarkan pantauan Tribunnews.com, Partai Buruh melangsungkan aksi di dalam halaman Kantor Kemnaker RI.
Baca juga: Poin-poin Permenaker Nomor 5/2023 yang Jadi Sorotan Buruh Buruh hingga Pemerintah
Sedangkan, KASBI menggelar aksi unjuk rasa di luar halaman Kantor Kemnaker RI atau tepatnya di sebagian Jalan Gatot Subroto.
Kemacetan berlangsung sejak pukul 12.00 WIB siang.
Padatnya lalu lintas terjadi saat pihak kepolisian mengatur satu jalur untuk dilalui kendaraan, baik roda dua dan roda empat.
Volume kendaraan dari arah kawasan Senayan, Jakarta Pusat begitu tinggi. Sehingga kemacetan panjang terjadi saat melalui jalan raya di depan Kantor Kemnaker RI.
Sebagai informasi, Partai Buruh dan KASBI melakukan aksi unjuk rasa penolakan Permenaker Nomor 5 Tahun 2023.
Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 Jadi Sorotan
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 5 tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.
Perusahaan industri padat karya tertentu yang berorientasi ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 memiliki kriteria memiliki pekerja atau buruh paling sedikit 200 orang dan persentase biaya tenaga kerja dalam biaya produksi paling sedikit sebesar 15 persen.
Baca juga: Soal Permenaker Nomor 5 Tahun 2023, Partai Buruh Sebut Menaker Telah Melawan Presiden Jokowi
Kriteria ketiga, produksinya bergantung pada permintaan pesanan dari negara Amerika Serikat dan negara di benua Eropa yang dibuktikan dengan surat permintaan pesanan.
Permenaker Nomor 5 tahun 2023 juga menjelaskan, perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor sebagaimana dimaksud meliputi industri tekstil dan pakaian jadi, industri alas kaki, industri kulit dan barang kulit, industri furnitur, dan industri mainan anak.
Namun rupanya, penerbitan Permenaker nomor 5/2023 menghadirkan pro dan kontra. Yang paling disoroti dalam aturan tersebut yakni pada bagian penyesuaian upah.
Dalam pasal 7 disebutkan Pemerintah menetapkan kebijakan penyesuaian upah pada perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional serta untuk menjaga kelangsungan bekerja dan kelangsungan berusaha.
Kemudian pada Pasal 8 juga tertulis penjelasan terkait 3 poin.
Pertama, perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global dapat melakukan penyesuaian besaran Upah Pekerja/Buruh dengan ketentuan upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh paling sedikit 75 persen dari upah yang biasa diterima.
Poin kedua disebutkan, penyesuaian sebagaimana dimaksud dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh.
Dan yang ketiga, penyesuaian upah sebagaimana dimaksud pada kedua poin sebelumnya berlaku selama 6 (enam) bulan terhitung sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku.
Dampak Permenaker Nomor 5 tahun 2023 Menurut Buruh
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, implementasi aturan tersebut akan menurunkan daya beli sehingga akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi domestik, yang bisa saja terperosok.
"Kalau misal upahnya murah, kemudian daya beli turun. Daya beli turun, konsumsi berkurang. Kalau konsumsi berkurang, pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai," ucap Said saat memimpin unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Selasa (21/3/2023).
Kemudian, Iqbal juga mengatakan terjadi diskriminasi upah.
Menurutnya di dalam UU Perburuhan dan Konvensi ILO No 133, tidak boleh ada diskriminasi upah.
"Kalau ada perusahaan padat karya orientasi ekspor dan ada yang tidak ekspor, masa di diskriminasi?" ujar Said Iqbal.
Baca juga: Buruh: Pertumbuhan Ekonomi Akan Terperosok oleh Kebijakan Potong Upah 25 Persen di Permenaker
Menurutnya hal ini jelas akan merugikan perusahaan orientasi dalam negeri, karena harus tetap membayar upah buruh secara penuh.
Di saat yang sama buruh di perusahaan orientasi ekspor upahnya hanya 75 persen.
"Akibatnya produk perusahaan orientasi pasar dalam negeri tidak laku, karena ada penurunan daya beli," ujarnya.