Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI), Lisman Manurung mengatakan bahwa buruknya udara di Jakarta bukan disebabkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya di Cilegon.
Pasalnya setelah 4 unit PLTU Suralaya dipadamkan oleh PLN sejak 29 Agustus 2023, pencemaran udara di ibu kota masih dalam kategori buruk.
Baca juga: Menteri PPPA: Polusi Udara Memperburuk Gangguan Kesehatan pada Anak
Sehingga menurutnya solusi atas permasalahan polusi udara ibu kota perlu dilakukan secara holistik.
"Hal itu membuktikan bahwa bukan PLTU Suralaya seperti apa yang dituduhkan. Saya pikir solusinya harus holistik," kata Lisman, Rabu (6/9/2023).
Hal tersebut juga diperkuat dari sumber data kualitas udara Jakarta.
Menurut IQAir, catatan data polusi udara Jakarta tak mengalami perubahan yang signifikan.
Lisman menyebut pola mobilisasi dan aktivitas masyarakat di Jakarta perlu diubah lewat regulasi untuk meningkatkan jumlah pejalan kaki, termasuk kebijakan kebijakan work from home (WFH).
Pasalnya, emisi gas buang dari kendaraan pribadi berbahan bakar minyak masih menjadi sumber utama polusi.
Apalagi di Jakarta terdaftar 16,2 juta sepeda motor.
Pada 20 unit sepeda motor, gas karbon yang dilepas setara 1 unit transportasi umum seperti TransJakarta.
Baca juga: Begini Saran Dokter Paru untuk Jenis Masker saat Polusi Udara
Menurutnya, kebijakan penggunaan transportasi umum seharusnya lebih digalakkan karena mampu mengurangi polusi udara yang datang dari kendaraan pribadi.
Tak hanya beralih ke kendaraan listrik, Lisman menggarisbawahi pentingnya peran moda transportasi publik dalam menekan polusi udara.
"Armada harus bergerak sepanjang hari agar kebutuhan transportasi masyarakat dapat terpenuhi tanpa menunggu lama," terangnya.
Lisman turut mengimbau adanya pemulihan sistem pengaturan ride hailing atau angkutan berbasis platform aplikasi seperti sedia kala.
Sehingga jasa angkutan online, baik mobil maupun motor kembali menjadi industri yang dinamis, di mana frekuensi penggunaan mobil dan sepeda motor mitra driver bisa dinaikkan signifikan.
"Saat ini jutaan sepeda motor hanya digunakan 3 jam per hari. Bandingkan dengan ojek online yang bisa meningkatkan jam guna sebuah sepeda motor," kata Lisman.