TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Toleransi adalah bahasa universal yang mampu menembus ruang dan waktu. Toleransi bahkan bisa menjembatani jurang keyakinan dan keimanan yang sebelumnya diyakini sulit untuk diseberangi.
Semangat toleransi dalam keberagaman harus bisa terinternalisasi dalam diri anak bangsa sebagai bentuk pengamalan agama yang paripurna.
Sekretaris Eksekutif bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Pdt.Jimmy Sormin, MA., menjelaskan bahwa toleransi merupakan bagian dari semangat Kekristenan itu sendiri.
Ajaran Kristus mengarahkan manusia untuk memiliki semangat kasih, baik terhadap Tuhan maupun sesama manusia.
“Semangat kasih dapat melampaui sekat-sekat budaya dan identitas lainnya. Selama itu sesama ciptaan Tuhan, terlebih lagi kepada manusia lainnya, kita harus bisa saling mengasihi terhadap sesama. Semangat kasih itu dapat melampaui bahasa primordial, bahasa politik, serta bahasa khusus dari masing-masing identitas kita,” terang Pdt. Jimmy, Rabu (6/12/2023).
Dirinya menerangkan bahwa keinginan untuk saling mengasihi sifatnya transversal atau mampu menembus berbagai identitas. Juga dapat menjelajah berbagai ruang dan sekat yang ada, yang biasanya terbentuk karena budaya, ekonomi, politik, dan lainnya.
Ia mengungkapkan bahwa kekristenan melihat bahwa toleransi adalah jalan untuk hidup menjadi makhluk yang betul-betul mengasihi dan menjalankan perintah Tuhan.
Mengasihi semua makhluk ciptaan Tuhan seharusnya menjadi naluri manusia, terlebih karena manusia merupakan gambaran dari Tuhan sendiri atau Imago Dei.
Pdt Jimmy mengatakan, berulang kali Alkitab mengisahkan, ‘Yesus memerintahkan kita untuk toleran terhadap keberagaman agama dan bahkan budaya yang ada di masyarakat pada masanya’.
Ia juga menyebutkan kisah orang-orang Samaria dalam Alkitab yang memiliki pesan agar umat tidak memandang sebelah mata terhadap orang lain.
“Alkitab mengisahkan, orang Samaria adalah orang yang dipandang sebelah mata atau dinilai rendah oleh Bangsa Yehuda. Namun Kristus menunjukkan, justru orang-orang Samaria yang dipandang rendah itu menjadi bagian dalam pengajaran ajaran Kristiani mengenai kebijaksanaan, kebaikan, dan kebenaran,” ungkap Pdt. Jimmy.
Ia menambahkan, Yesus pernah mencontohkan untuk berdiskusi dan berdialog dengan orang-orang Samaria yang notabene terpinggirkan kala itu.
“Misalnya kisah tentang perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria yang baik hatinya. Walaupun kalangan Samaria acapkali dijauhi, Yesus mau berdiskusi dan berdialog dengan perempuan Samaria ini. Banyak juga contoh dan kisah lainnya tentang bertoleransi terhadap orang yang saat itu dianggap kedudukannya tidak setara,” imbuhnya.
Selain itu, lanjut Pdt Jimmy, ajaran Kristiani mengharuskan manusia bertoleransi dengan mereka yang dianggap rendah, bahkan hina. Artinya umat diperintahkan untuk tetap merangkul semua, terlepas dari latar belakang ekonomi dan sosialnya.
“Kita justru harus menunjukkan keberpihakan dan semangat kasih kepada mereka yang lemah dan diperlakukan diskriminatif, serta dikekang bahkan dikorbankan hak-haknya oleh para penguasa,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa contoh semacam inilah yang bisa menjadi rujukan bahwa semangat kasih dan toleransi itu adalah bagian dari sikap bangsa Indonesia untuk berkorban meninggalkan kenyamanan demi menghargai keberagaman yang ada di sekitar.
Mengenali hal yang berbeda dengan keyakinan awal tentunya akan menuntut masyarakat masuk pada wilayah pergaulan dan pemikiran yang jauh berbeda dibandingkan dengan lingkungan sosial sebelumnya.
“Sudah semestinya kita mau menjadikan diri kita memiliki toleransi dan berdamai dengan keadaan sekitar, sekalipun mungkin itu mengganggu kita atau berbeda dengan yang kita yakini. Masyarakat Indonesia harus memahami bahwa mereka perlu membangun serta menjembatani keberagaman yang ada. Melalui semangat saling mengasihi tadi, kita akan mempunyai sikap yang memanusiakan manusia,” papar Pdt. Jimmy.
Jebolah magister Religious and Cultural Studies UGM ini beranggapan bahwa tidak ada satu entitas masyarakat atau negara yang bebas dari masalah dan tantangan.
Kelanjutan masa depan bangsa akan sangat bergantung pada bagaimana anak bangsa menyikapi segala rintangan. Melalui perspektif yang membangun serta memanusiakan orang lain, dengan sendirinya bisa mengasihi sesama manusia.
“Bergerak melalui pemahaman itu, kita dapat membangun toleransi dalam hidup bersama. Kita berharap kehadiran dan kontribusi segala elemen bangsa dapat menjadi ‘garam’ (memberi pengaruh baik) dan ‘terang’ (sinar yang menerangi) dan kita betul-betul menjadi keberkahan bagi negeri ini,” kata Pdt. Jimmy.