TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana Penjabat (Pj) Gubernur DKI Heru Budi Hartono terkait pembangunan lumbung pangan atau food estate di area Kabupaten Kepulauan Seribu pada 2025 mendatang menuai keritikan.
Ide itu diungkapkan Heru saat membuka pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) tahun 2024 Kabupaten Kepulauan Seribu pada Selasa (19/3/2024) lalu.
Adapun kegiatan tersebut digelar dalam rangka penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi DKI Jakarta Tahun 2025.
“Kita melihat kebutuhan bahan pokok semakin berkurang di dunia. Maka, pada 2025 dan seterusnya memang harus dipikirkan Kepulauan Seribu menjadi lumbung pangan bagi masyarakat DKI Jakarta,” ucapnya, Selasa (19/3/2024).
Satu hari setelahnya kepada wartawan, Heru menyebut, kawasan Kepulauan Seribu dipilih lantaran memiliki potensi hasil laut yang melimpah.
“Kepulauan Seribu sesuai dengan kajian BRIN dan Bappenas itu potensi untuk lumbung pangan, di sana kan ada ikan, ada rumput laut, dan lain sebagainya,” ucapnya.
Dibandingkan dengan wilayah Jakarta Utara, Heru mengatakan potensi hasil laut di wilayah Kepulauan Seribu lebih melimpah lantaran sebagian besar wilayahnya merupakan perairan.
“Kalau di pesisir dekat Jakarta itu tidak memungkinkan karena ada pencemaran limbah dan sebagainya,” ujarnya.
Kepala Sekretariat Presiden ini menjelaskan, Pemprov DKI sampai saat ini masih melakukan kajian terkait potensi tersebut.
Kajian itu pun diharapkan rampung pada 2025 mendatang.
“Ini baru potensi, untuk potensi Jakarta itu di Kepulauan Seribu untuk lumbung pangan tadi,” tuturnya.
Komentar anggota DPRD DKI
Wakil Ketua Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Ismail meminta Heru melakukan kajian matang lebih dulu sebelum mulai membangun lumbung pangan pada 2025 mendatang.
“Yang pasti, apapun yang diinginkan di Kepulauan Seribu harus berbasis kajian yang matang. Tidak boleh hanya mengandalkan atau berdasarkan keinginan sesaat saja,” ucapnya, Kamis (21/3/2024).
Hal ini disampaikan Ismail lantaran proyek ini diperkirakan bakal menyerap banyak anggaran, khususnya dari APBD DKI.
Baca juga: Soroti Program Pangan Era Jokowi, Guru Besar IPB: Swasembada Padi Hingga Food Estate Gagal Semua
Oleh karena itu, ia tidak ingin proyek yang dibangun di bangun dari duit rakyat justru gagal atau tidak berdampak apa-apa bagi warga Jakarta.
“Kita bicara soal investasi yang bukan saja melibatkan dana swasta, tapi kemungkinan dari APBD. Ini sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
“Maka kajian yang komprehensif untuk pengelolaan atau optimalisasi Kepulauan Seribu itu syarat mutlak,” tambahnya.
Sementara itu, Jhon Sitorus sorang loyalis Ganjar Pranowo ikut berkomentar dalam akun media sosial X miliknya.
“Heru mulai aneh-aneh gaes. Food Estate di Kepulauan Seribu,” tulis Jhon Sitorus dikutip Tribun, Minggu (24/3/2024).
Mengenal apa itu food estate
Food Estate atau lumbung pangan adalah konsep pertanian untuk menyediakan bahan makanan dalam rangka mencapai kemandirian pangan.
Menurut buku pintar Food Estate, Food Estate adalah istilah populer dari kegiatan usaha budidaya tanaman skala luas (>25 ha).
Food Estate dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industrial yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), modal, organisasi dan manajemen modern.
Komoditi prioritas yang dapat dikembangakan dalam Food Estate misalnya padi, jagung, ubi kayu, kelapa sawit, ubi jalar, kacang tanah, kedelai, buah, sayur, sagu, hingga ternak sapi, kambing atau ayam.
Di Indonesia, pemerintah juga melaksanakan program Food Estate sebagai bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) pada tahun 2020.
Program ini pernah berlangsung pada tahun 2015-2019, untuk membangun 1,2 juta ha lahan di wilayah Kalimantan Barat (120.000 ha), Kalimantan Tengah (180.000 ha), Kalimantan Timur (10.000 ha), dan Maluku (190.000 ha), dikutip dari dppp.bangkaselatankab.go.id.
Program Food Estate semakin digencarkan pada 2020 di Desa Gunung Mas dan Pulang Pisau di Kalimantan Tengah.
Untuk menjamin pelaksanaannya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI melalui PermenLHK 24/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate memperbolehkan legalisasi pemanfaatan lahan hutan, termasuk lahan hutan lindung untuk program Food Estate.
Kemudian, pemerintah kembali melaksanakan program pengembangan Food Estate pada tahun 2021 di Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Papua (Merauke).
Dari banyaknya lahan Food Estate, sejumlah petani di wilayah Food Estate telah merasakan hasilnya, di antaranya petani di Kalimantan Tengah.
Pada Sabtu (27/1/2024), Akhmad Hamdan, Kepala BSIP Kalimantan Tengah, mengatakan lahan Food Estate Gunung Mas mampu memproduksi jagung hingga 6,5 ton per hektar, seperti dilaporkan WartaKotalive.com.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Food Estate, Lengkap dengan Penjelasan dan Fungsinya
Dampak Positif:
Berikut ini sejumlah dampak positif Food Estate, dikutip dari Indonesiabaik.id.
- Meningkatkan nilai tambah produksi sektor pertanian lokal
- Meningkatkan penyerapan tenaga kerja pertanian (mencapai 34,4 persen)
- Petani dapat mengembangkan usaha tani skala luas
- Terintegrasinya sistem sentra Produksi, Pengolahan dan Perdagangan
- Terbukanya potensi ekspor pangan ke negara lain
- Harga pangan menjadi murah akibat produksi pangan melimpah.
Dampak Negatif:
- Proses pembukaan lahan mengancam kehidupan masyarakat hukum adat
- Memperburuk krisis iklim dengan pembukaan lahan
- Mengancam keanekaragaman hayati melalui eksploitasi hutan dan lahan gambut
- Ada perusahaan yang menggunakan tenaga kerja lokal dengan upah rendah
- Nilai jual pertanian rakyat rendah.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJakarta.com dengan judul Heru Budi Ungkap Alasan Bangun Food Estate di Kepulauan Seribu: Sesuai Kajian BRIN dan Bappenas