Raut wajah M Takwim tiba-tiba berubah.
Ia sedih mengingat sebuah peristiwa era 84’an yang membekas di hatinya hingga saat ini.
"Ayah dan tante saya pernah mengalami kecelakaan. Tante saya meninggal, ayah saya Alhamdulillah selamat waktu itu," ujarnya.
Dengan terbata-bata, M Takwim bercerita bahwa moda transportasi laut khususnya di kampung halaman.
Sebuah kapal harus dipastikan kelayakannya sebelum diberangkatkan.
"Dari situ saya memutuskan untuk kuliah di perkapalan. Saya tidak tahu waktu itu, saya hanya berpikir ingin menjadi seoranng yang punya otoritas di perkapalan," ujarnya.
Hingga suatu saat, ia menyadari bahwa ia telah meraih impiannya untuk jadi seorang yang punya otoritas di perkapalan.
Saat ini, untuk melihat sebuah kapal layak atau tidak berlayar tak serta-merta dipatok pada regulator, melainkan kejujuran dan kemauan dari nakhoda dan kru.
M Takwim mengatakan kondisi yang terjadi di kapal selama berlayar hanya diketahui oleh nakhoda dan kru.
"Di tempat saya, khususnya di timur masih banyak pekerja kapal tidak dengan sistem gaji melainkan bagi hasil. Ini kan potensi terjadi manipulasi kondisi kapal sangat besar. Mengapa? Kalau dia jujur dengan kondisi kapalnya, maka dia tidak akan bisa beroperasi dan tidak mendapat untung dari situ," katanya.
Hal tersebut menurutnya masih ada ditemui khususnya di daerah-daerah.
Berbeda dengan kapal ukuran besar dengan sistem penggajian yang lebih jelas, diyakini jauh lebih taat dan jujur dibandingkan kapal yang menerapkan bagi hasil. (raf)