Dia juga melihat polisi melakukan hal yang sama kepada sejumlah pengunjung DWP lainnya secara acak.
Mereka kemudian dikumpulkan dan dibawa ke Polda Metro Jaya.
Sesampainya di kantor polisi, Amir mengaku diminta melakukan tes urine.
Ponsel mereka disita, tak dibolehkan menghubungi siapa pun termasuk pengacara atau Kedutaan Besar Malaysia.
"Mereka cuma mengizinkan kami menghubungi keluarga kami, tapi mereka memonitor komunikasi kami, lalu menyita kembali ponsel kami," terangnya.
"Mereka juga tidak mengizinkan kami menunjuk pengacara. Mereka memaksa kami menandatangani surat penunjukan pengacara yang sudah mereka tentukan."
Pada pagi harinya, polisi memberi tahu hasil tes urine mereka.
"Sebagian dari kami positif dan sebagian lainnya negatif. Tapi walaupun hasil tesnya negatif, mereka tetap mengunci kami di kantor mereka," kata Amir.
"Mereka bilang karena kami datang sama-sama, walaupun sebagian [hasil tes urine] negatif, kami diminta mengaku salah dan membayar untuk bisa bebas."
Diperas Rp 800 Juta
Amir mengeklaim bahwa dia dan delapan orang temannya diminta membayar Rp800 juta untuk bisa bebas.
"Padahal tidak ditemukan barang bukti apa pun pada kami, hanya tes urine sebagian dari kami hasilnya positif. Kami harus membayar Rp800 juta, walaupun hasilnya negatif, kami tetap harus bayar," jelasnya.
Amir mencoba menawar nominal uang yang harus dibayarkan.
Akhirnya, mereka membayar sekitar RM100.000 (sekitar Rp360 juta).