Dan meminta bantuan Presiden RI Prabowo Subianto menyelesaikan kasusnya.
"Sekali lagi saya mohon kepada Bapak Presiden Prabowo untuk menangani kasus saya. Karena ayah saya telah menjadi korban penembakan yang sangat sadis, sangat keji yang dilakukan oleh oknum anggota TNI AL," imbuh Rizky sambil menangis.
Rizky menangis saat mengingat dirinya merekam kejadian penembakan tersebut.
Selain itu, ia menyayangkan pernyataan Kapolda Banten Irjen Suyudi Ario Seto.
"Sangat disayangkan sekali tadi pernyataan dari Bapak Kapolda adanya pengurangan kata. Jadi awal mulanya itu tadi kita sudah ditodongkan pistol terlebih dahulu pada saat di Pandeglang," kata Rizky di lokasi yang sama.
"Maka dari itu, ketika kita sudah ditodong pistol, maka saya ini dan keluarga meminta tolong kepada siapa kalau bukan kepada polisi? Karena kita mempercayakan keselamatan kita pada Polisi," lanjutnya.
Agar Diadili di Peradilan Umum
Terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid angkat bicara soal kasus penembakan warga sipil yang melibatkan Anggota TNI AL.
Ia menyayangkan perilaku aparat memakai senjata api secara tidak sah terus berulang.
“Pembunuhan di luar hukum oleh aparat terus terjadi. Perbuatan mereka jelas melanggar hak asasi manusia. Sayangnya perilaku aparat memakai senjata api secara tidak sah terus berulang, seakan tak ada upaya perbaikan dari pimpinan lembaga-lembaga terkait seperti TNI dan Polri," kata Usman Hamid, Selasa (7/1/2025).
Pembunuhan di luar hukum, ditegaskannya melanggar hak hidup.
Lingkaran impunitas ini harus segera dihentikan agar ke depannya tidak ada lagi korban jatuh akibat penyalahgunaan wewenang aparat.
"Tahun 2024 baru saja ditutup dengan 55 kasus pembunuhan di luar hukum dengan jumlah korban 55 yang pelakunya mayoritas berasal dari aparat kepolisian maupun militer. Sebanyak 10 pelaku berasal dari unsur TNI, 29 dari kepolisian, dan 3 berasal dari pasukan gabuangan TNI-Polri," terangnya.
Selang dua hari di awal tahun 2025, lanjutnya, pembunuhan di luar hukum kembali terjadi pada tanggal 2 Januari dan kali ini diduga melibatkan anggota TNI AL.
"Pelaku harus diadili melalui peradilan umum bukan peradilan militer yang prosesnya cenderung tertutup dan tidak transparan. Oleh karena itu kami mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera melakukan reformasi sistem peradilan militer dengan merevisi Undang-Undang Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997," tegasnya.