Ia mengajak semua terus menjaga kebersamaan, persatuan dalam bingkai Empat Pilar MPR. “Agar kita tidak terpecah belah, tetap menjadi bangsa yang damai, bersatu, dan bergerak maju demi kesejahteraan dan kemakmuran bersama,” katanya.
Terkait dengan sosialisasi dengan metode seni dan budaya, Ibas mengajak penonton untuk mendengarkan dan mencerna cerita, filosofi, serta motivasi yang disampaikan lewat lakon Bimo Labuh. “Melalui metoda ini, saya mengajak mengimplementasikan Empat Pilar dalam keseharian," ucapnya.
Lakon ini mengisahkan Raja Astina, Bimo, yang juga dikenal sebagai Brotoseno, sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana. Dia rela berkoban demi kepentingan rakyat dan kebenaran.
Seandainya harus kehilangan tahta dia tidak akan mengeluh, bahkan selalu berupaya dan memastikan rakyatnya hidup sejahtera.
Caranya, dengan memberi bantuan, memberikan program pembangunan, memberikan penyuluhan, dan tentunya mengajak rakyat lebih optimistis dalam menghadapi kehidupan.
Dari singkat cerita itu, Bimo Labuh sesuai dengan karakter yang terkandung nilai-nilai Empat Pilar.
Dirinya mengakui, datang ke Ponorogo bukan kali pertama. "Saya sering ke kota reog," ungkapnya.
Sosialisasi di Monumen Bantarangin dikatakan cucu Sarwo Edy Wibowo itu sangat istimewa sebab di tempat ini pernah ada Kerajaan Bantarangin dengan Raja Klono Sewandono.
Kerajaan ini merupakan cikal bakal Ponorogo dan kesenian reog. "Tak heran bila monumen ini dikenal sebagai kota lama Ponorogo," ungkapnya.
Dari pentilasan inilah membuat dirinya mendukung rencana Pemda Ponorogo yang ingin pada tahun 2019 memiliki Kampung Reog dan Kampung Batik. Ini dilakukan agar Ponorogo tak hanya menjadi tujuan wisata namun juga sebagai upaya melestarikan budaya leluhur.
"Kalau ingin reog tidak mau dicuri negara lain, mari lestarikan bersama," ajak Ibas. Disebut reog telah menjadi kebanggaan Indonesia dan termasuk salah satu budaya yang sangat penting di dunia. “Maka harus kita jaga,” tegasnya. (*)