Sistem Presidensial telah diimplementasikan lama di Indonesia. Ke depan, pasca pemilu 2019 sistem Presidensial perlu penegasan dan penguataan sebab masih terdapat pro kontra dalam pelaksanaannya.
Hal tersebut muncul dalam gelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema 'Penegasan Sistem Presidensial' kerjasama Badan Pengkajian MPR dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes), di Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (20/7) yang dihadiri dan dipimpin Prof. Hendrawan Supratikno (Fraksi PDIP MPR), didampingi Marwan Cik Asan (Fraksi Demokrat MPR), Syarief Abdullah Alkadrie (Fraksi Nasdem MPR), Hendro S Yahman (Fraksi PDIP MPR).
Hendrawan mengatakan sistem Presidensial yang kuat akan membawa pemerintahan juga kuat dan dampaknya kinerja akan bagus dan semua kembali kepada rakyat. Penguatan itu bisa melalui amandemen.
"Peran MPR dalam penegasan dan penguatan sistem Presidensial sangat penting yakni melalui amandemen, disitulah penguatan sistem Presidensial terwujud," katanya.
Penguatan sistem Presidensial akan berdampak kepada sinergitas serta check and balances antara eksekutif dan legislatif. "Sekali lagi jika sistem Presidensial tegas dan kuat maka akan berdampak baik buat sistem ketatanegaraan kita," ujarnya.
Syarief Alkadrie juga tegas mengatakan bahwa perlu mempertegas dan memperkuat sistem ketatanegaraan Indonesia dalam hal ini sistem Presidensial. Banyak hal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia perlu dikaji kembali dan ditata ulang seperti pemilihan pejabat negara yang semestinya ranah Presiden.
"Masing-masing elemen seperti eksekutif, legislatif semua memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing ya kembalilah ke ranah tersebut jangan sampai ada tumpang tindih, penguatan sistem ketatanegaraan kita mesti juga kearah sana," katanya.
Pendapat Hendrawan dan Syarief diamini Marwan Cik Asan yang menegaskan bahwa apapun pada akhirnya berbagai upaya yang MPR ini lakukan dengan berbagai diskusi, mencari informasi, masukan, pemikiran adalah demi memperbaiki sistem ketatanegaraan Indonesia.
"Sebab selama 21 tahun reformasi kita terlalu banyak menghabiskan energi karena ketidakstabilan terutama pra pemilu dan saat pemilu bagaimana potensi konflik terjadi. Penguatan sistem ketatanegaraan kita ke depan diharapkan agar ketidakstabilan tergantikan dengan kestabilan yang berdampak baik untuk bangsa dan negara," tambahnya.
Peserta FGD, dari Universitas Negeri Semarang Prof. Dr. Suyahmo, M.Si. menjabarkan bahwa dalam sistem presidensial, Presiden semestinya memiliki posisi yang relatif kuat.
"Namun sayang masa jabatan Presiden hanya dua periode. Lima tahun dan selanjutnya bisa dipilih lagi jika terpilih lagi. Dengan diberi 2 kali masa jabatan, seorang Presiden pada periode pertama kerjanya bisa jadi kurang all out. Sebab, dibayangi kepentingan politik untuk bisa terpilih lagi di periode kedua," katanya.
Solusinya ke depan, lanjut Suyahmo, Presiden memegang jabatan 1 periode saja selama 8-9 tahun sehingga seorang Presiden bisa lebih fokus bekerja secara profesional dan maksimal dan tidak berpikir untuk terpilih lagi.
Lalu, dalam konteks checks and balances antara Presiden sebagai eksekutif dan DPR sebagai legislatif secara kuantitatif tidak harus didudukan secara proporsional. Artinya, jumlah anggota DPR sebagai pendukung eksekutif diporsikan lebih banyak daripada jumlah anggota DPR sebagai pengontrol.
"Namun, dengan catatan bahwa kualitas, integritas, kapabilitas eksekutif terandalkan hanya bekerja demi kepentingan rakyat," tegasnya.