Ia merujuk kepada Pasal 23 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 sebagai dasar hukumnya.
Ketentuan itu berbunyi, “Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas mencakup:
a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan
b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang -Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.”
HNW menilai bahwa kehadiran RUU Pencabutan UU Ciptaker ini sudah memenuhi kriteria dalam pasal itu, yakni adanya keadaan luar biasa dan adanya urgensi nasional.
“Adanya penolakan publik yang meluas, proses pembahasan dan persetujuan RUU Ciptaker di DPR yang dinilai menabrak prosedur formil dan kesalahan penulisan konten yang substanstif cukup menjadi alasan perlunya RUU Pencabutan tersebut,” tukasnya.
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini menjelaskan bahwa UU Pencabutan suatu undang-undang bukan terlarang, dan bukan hal yang baru bagi Indonesia.
DPR dan Pemerintah, misalnya, pernah melakukan kegiatan sejenis, dengan mengesahkan UU No. 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
“Preseden menerbitkan UU yang mencabut UU lain sudah ada dan secara regulasi juga dimungkinkan,” ujarnya.
HNW mengingatkan, selain legislative review, ada dua opsi yang bisa diambil untuk mengakhiri kegaduhan terkait UU Ciptakerja ini, yakni judicial review ke Mahkamah Konstitusi atau executive review oleh Presiden.
Judicial review sudah ditempuh oleh berbagai kalangan masyarakat, terutama buruh/serikat pekerja.
HNW menambahkan bahwa pemerintah juga perlu mempertimbangkan opsi executive review yang dilakukan oleh Presiden, dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mencabut UU Ciptaker ini.
Menurutnya, opsi ini lebih mudah dilakukan karena hanya membutuhkan kemauan politik Presiden, tanpa perlu melibatkan DPR layaknya mekanisme legislative review.
Dan kalau Presiden membuat Perppu dengan mencabut UU yang baru ditandatanganinya, maka demi kemasalahatan terbesar bagi Bangsa dan Negara, hal seperti itu wajar untuk dilakukan.