TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo membicarakan tentang progres pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang masih jauh dari memuaskan dan lagi, angka kematian ibu dan bayi masih tinggi. Kecenderungan yang sama juga terlihat pada jumlah kasus stunting atau gagal tumbuh ideal pada balita.
Bamsoet, sapaan akrabnya, juga menegaskan Pokok-pokok Halauan Negara (PPHN) akan memberi penekanan khusus pada aspek ini, serta mewajibkan pemerintah pusat-daerah konsisten dengan program-program yang berkaitan dengan pembangunan SDM.
Selain indikator kematian ibu-bayi serta besarnya jumlah kasus stunting, fakta tentang puluhan ribu anak putus sekolah pun jangan sampai luput dari perhatian.
"Negara harus pro-aktif menunjukan tanggungjawabnya. Demi masa depan mereka, diperlukan intervensi pemerintah untuk mengembalikan puluhan ribu anak itu ke sekolah. Progres pembangunan SDM dengan ragam permasalahan yang masih mengemuka ini menjadi perhatian khusus MPR RI dalam proses merumuskan PPHN. Melalui PPHN, MPR RI menyegarkan lagi dogma bahwa membangun manusia adalah keniscayaan bagi negara-bangsa," kata Bamsoet dalam catatan Ketua MPR RI.
Progres pembangunan negara-bangsa tak boleh hanya diukur dari aspek pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Lebih dari itu, progres pembangunan nasional pun harus tercermin pada kesungguhan dan konsistensi membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Menurut Bamsoet, kesungguhan dan konsistensi itu hendaknya tercermin pada proses pengembangan kualitas SDM secara berkelanjutan seturut perkembangan dan perubahan zaman, dan mencakup semua aspek yang relevan, seperti aspek pemeliharaan kesehatan dan pendidikan.
Selain membentuk pribadi yang nasionalis dan Pancasilais, tujuan utama lainnya dari membangun SDM Indonesia tak lain adalah menyiapkan semua elemen anak bangsa untuk memiliki kompetensi, agar dapat menjadi faktor penentu dalam proses pembangunan di segala sektor atau bidang. Dengan SDM yang kompeten di berbagai bidang, Indonesia dapat mewujudkan keunggulannya dalam persaingan global.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Partai Golkar ini juga mengatakan fokus dan adaptasi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan SDM memang menjadi proses tak terhindarkan.
Namun, pembangunan sektor kesehatan sebagai pijakan harus juga diutamakan. Setiap pribadi anak bangsa yang sehat jasmani-rohani akan memiliki peluang untuk mengembangkan bakat atau minatnya melalui proses belajar pada berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
"Karena itulah PPHN akan mewajibkan negara-pemerintah untuk selalu menempatkan pembangunan kesehatan sebagai prioritas. Negara-pemerintah harus dan wajib mendorong setiap anak bangsa memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya," ucapnya lagi.
Dewasa ini, ketika segenap komponen bangsa bergegas beradaptasi dengan perubahan zaman yang ditandai dengan digitalisasi pada berbagai aspek kehidupan, sebagian anggota masyarakat yang lemah dan berkekurangan belum terjangkau oleh program pembangunan SDM. Mereka masih harus bergulat untuk sekadar dapat memenuhi kebutuhan dasar, termasuk layanan kesehatan.
Karena pembangunan SDM belum menjangkau semua elemen masyarakat, Indonesia masih mencatatkan angka kematian yang tinggi pada ibu-bayi. Tidak sedikit pula jumlah Balita (bayi di bawah lima tahun) yang gagal tumbuh ideal karena menderita kekurangan gizi kronis (stunting). Dan, dalam tahun-tahun terakhir ini, puluhan ribu anak berstatus putus sekolah karena beberapa alasan.
"Pemerintah dan masyarakat pada umumnya tentu saja tidak boleh tutup mata terhadap rangkaian fakta ini. Fakta-fakta itu sekadar mengonfirmasi bahwa mereka yang lemah dan berkekurangan patut mendapatkan perhatian dan empati dari negara dan masyarakat. Untuk alasan itulah MPR RI menetapkan PPHN tentang pembangunan SDM sebagai agenda atau program prioritas," ujar pria yang juga Dosen Hukum, Ilmu Sosial & Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Terbuka itu.
Dalam beberapa kesempatan, pemerintah sudah dan sering mengonfirmasi bahwa angka kematian Ibu dan bayi di Indonesia terbilang masih tinggi. Pada November 2021, misalnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, bahkan mengingatkan bahwa angka kematian ibu dan bayi mengalami kenaikan dalam beberapa tahun terakhir, dan kenaikannya sudah dalam tahap mengkhawatirkan. Data dari Kementerian Kesehatan Tahun 2020 menyebutkan bahwa jumlah angka kematian ibu mengalami peningkatan 4.627 kasus.
Kecenderungan itu sepertinya terkonfirmasi di Jawa Timur. Pada Desember 2021, dilaporkan bahwa kematian ibu hamil dan bayi di Jawa Timur mencapai 1.127 kasus dari periode Januari hingga September 2021.
Selain itu, data Sampling Registration System (SRS) pada tahun 2018 melaporkan bahwa sekitar 76 persen kematian ibu terjadi di fase persalinan dan pasca persalinan.Dan, lebih dari 62 persen kematian ibu dan bayi terjadi di rumah sakit.
Tahun 2020, dilaporkan bahwa kematian bayi Balita mencapai 28.158 jiwa. Dari jumlah itu, 20.266 Balita (71,97 persen) meninggal dalam rentang usia 0-28 hari (neonatal). Sebanyak 5.386 balita (19,13 persen) meninggal dalam rentang usia 29 hari-11 bulan (post-neonatal). Dan, 2.506 balita (8,9 persen) meninggal dalam rentang usia 12-59 bulan. Sekitar 35,2 persen kematian Balita neonatal disebabkan berat badan terbilang rendah saat lahir.
Masih terkait kesehatan Balita adalah persoalan stunting atau kekurangan gizi yang menyebabkan bayi gagal tumbuh ideal. Menurut data hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting Indonesia masih di angka 24,4 persen.Meskipun angkanya cenderung turun dari tahun ke tahun, masalah ini hendaknya tidak disederhanakan.
Aspek lain dari pembangunan SDM yang harus segera ditangani adalah nasib puluhan ribu anak yang putus sekolah. Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), pada 2021, tak kurang dari 75.303 orang anak putus sekolah.
Jumlah terbanyak anak putus sekolah tercatat di tingkat sekolah dasar (SD), mencapai 38.716 anak. Pada tingkat sekolah menengah pertama (SMP), jumlah anak putus sekolah tercatat 15.042 anak. Dan, pada tingkat sekolah menengah kejuruan (SMK), tercatat 12.063 orang anak putus sekolah.
"Rangkaian masalah ini tersebar di berbagai daerah. Semua pemerintah daerah (Pemda) diharapkan peduli terhadap persoalan-persoalan itu. Jika setiap Pemda peduli, semua permasalahan itu bisa ditangani, karena Pemda memiliki sumber daya yang lebih dari cukup. Keseluruhan aspek pembangunan SDM ini tidak pernah lagi boleh diabaikan. Untuk alasan inilah, PPHN akan mewajibkan pemerintah pusat-daerah konsisten dengan program-program yang berkaitan dengan pembangunan SDM," tutup Bamsoet.