BANDUNG, TRIBUNNEWS.COM -- Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono X, beserta isterinya Gusti Kanjeng Ratu Hemas menyempatkan diri mengeluarkan pernyataannya terhadap permasalahan yang sedang banyak diperbincangkan mengenai Rancangan Undang Undang yang membahas Jogjakarta.
"Atas nama pribadi dan masyarakat Jogjakarta merasa terharu dan hormat yang setinggi-tingginya bertatap muka berkomunikasi dengan sesepuh Jabar," ujarnya di ruang Savoy II, Kamis (2/12/2010).
Ia mengatakan bahwa pihaknya sangat memahami sepenuhnya dan berterima kasih atas atensi terhadap permasalahan Jogja.
"Perlu saya sampaikan dengan peristiwa ini, saya sudah menyampaikan dari awal, amanat 5 September 1945 pemerintahan daulat telah menyatakan diri bagian dari Indonesia, Sri Sultan dan Paku Alam menjadi kepala daerah dan bertanggungjawab langsung kepada presiden,
17 Agustus dua beliau almarhum mengirim surat kawat menyatakan selamat kepada presiden dan wapres saat itu Jogja mendukung sepenuhnya NKRI," katanya.
Tanggal 18 Agustus ada pengesahkan konstitusi, tanggal 18 sudah ada pasal 18 yang menyatakan masalah hak-hak istimewa dan peralihan.
"Kita mengakui pemerintahan kerajaan menjadi bagian dari Indonesia, piagam kedudukan dari Soekarno, DIY justru sebagai wilayah otonom ada institusi, sering saya utarakan bahwa ijab kobul bunyinya itu, pemerintah pusat mau mengakui atau tidak bukan hanya historis tapi konstitusi menyatakan demikian," ujaranya.
Ia mengatakan Pemerintahan DIY sama dengan pemerintahan provinsi lain, dimana ia sebagai Gubernur bertanggungjawab kepada DPRD dan pemerintah pusat.
"Kalau almarhum dulu ke 9tidak pernah ada SK Presiden saya sekarang ada, saya punya SK dari Habiebi dan Megawati. Saya tidak jelas yang disebut sisi monarki itu dimana, wacana publik, setiap orang punya komentar persoalan milik publik, ini pendapat saya pribadi tidak hanya politik hukum, persoalan DIY persoalan peradaban," ujarnya.
Sultan mengatakan ada lima hal yang menjadi dasar, menjadi roh dari setiap identitas, mewarnai integritas kita, yakni peradaban.
"Proses Jogjakarta adalah proses peradaban tidak ada niat menghilangkan identitas moralitas sebagai identitas, integritas bisa ditanya proses berbangsa dan bernegara, disini akan tergusur proses peradaban tersebut saat ini pertimbangan uang jadi proses bukan didasari moralitas, yang perlu kita jaga di dalam membangun diri sendiri dan keluarga adalah sisi moralitas, kekhawatiran saya yang paling besar masalah peradaban yang akan hancur," katanya.
Ia mengatakan biarpun tidak dipilih pemilihan di daerah Jogjakarta tidak pernah ricuh, suasana tidak ada gugat menggugat yang ada kebersamaan.
"Harapan saya itikad moralitas harus tetap dipakai, ini yang perlu saya dipakai, ini persoalan jadi berubah jika ngomong masalah bathin kita hanya bicara RUUK kita akan bicara aspek peradaban jogja untuk Jogja atau Jogja untuk siapa, ini yang mungkin menjadi pemahaman kita bersama, ibaratnya kita masuk dalam sebuah lorong yang gelap, kita di persimpangan jalan untuk membangun ke depan, identitas bangsa, penegakan moralitas, apakah kita sudah kaya dengan pemahaman-pemahaman itu," katanya dalam acara pertemuan dengan Dewan kasepuhan masyarakat adat sunda. (Fam)
Sultan Bersama Isteri Curhat ke Sesepuh Adat Sunda
Editor: Tjatur Wisanggeni
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger