Laporan Wartawan Tribunnews.com Febby Mahendra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Teknologi informasi (IT) dengan sistem ICR yang dipakai KPU untuk merekap perolehan suara menelan anggaran Rp 170 miliar. Dengan sistem itu hasil rekap perolehan suara yang dibuat dengan tulisan tangan bisa dikonversi menjadi data digital, untuk selanjutnya dapat dikirim ke pusat tabulasi KPU di Hotel Borobudur secara berantai.
Caranya, hasil rekap terlebih dulu di-scan (dipindai). Selanjutnya hasil scan berbentuk image (gambar) dikonversi ke dalam angka dan huruf lewat mesin ICR. Dalam pandangan Antasari sistem itu mempunyai kelemahan yakni belum teruji akurasi pemidahan dari gambar ke angka dan huruf .
Akibatnya, angka 7 dalam gambar dapat saja dikenali sebagai angka 1, atau angka 6 dikenali sebagai angka 0. Sejak awal Antasari mengkhawatirkan penggunaan sistem itu dan kesiapan sumber daya manusia (SDM).
Kelemahan itu diakui Sekretaris Tim Ahli Teknologi Informasi KPU 2004, Basuki Suhardiman, menanggapi bobolnya sisitem IT KPU Sulawesi Selatan pada saat itu.
Kekhawatiran Antasari terbukti. Tenggang waktu 10 hari terlampaui namun penghitungan suara secara manual tidak selesai. "Negara sudah mengeluarkan uang cukup banyak. Kok (piranti IT yang sudah dibeli) kita kesampingkan begitu saja. Kita menggunakan cara perhitungan manual. Lalu apakah manual itu tidak mengeluarkan dana. Tolong tanyakan mengapa," katanya.
Sayang hasil monitoring KPK terhadap sistem IT di KPU tidak tuntas karena Antasari harus masuk tahanan karena dituduh terlibat dalam kasus pembunuhan Nasaruddin.
"Pada waktu itu saya tidak pernah berpikir si A dan si B atau siapapun yang melakukan pengadaan (proyek sistem IT di KPU). Kalau kemudian orang mengatakan si A, si B, belakangan baru saya tahu setelah saya ditahan."