News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Skandal Century

Noorsy Anggap Audit Forensik BPK 'Bermain' Politik

Penulis: Rachmat Hidayat
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ichsanuddin Noorsy, pengamat ekonomi politik

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Audit Investigasi lanjutan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap dana talangan Rp 6,762 triliun dari LPS kepada Bank Century (kini Bank Mutiara) mengandung kelemahan mendasar.

Audit ini diminta oleh DPR untuk menemukan transaksi-transaksi tidak wajar atau bertentangan dengan perundang-undangan yang merugikan Bank Century, negara atau masyarakat, baik sebelum maupun sesudah diambil alih LPS, termasuk mengungkapkan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut.

Sayangnya, dalam ringkasan eksekutif BPK untuk hal itu, audit tidak menemukan kerugian negara. Maka, menurut pengamat ekonomi politik, Ichsanuddin Noorsy, maksud DPR untuk menemukan indikasi korupsi pada dana talangan itu nyaris sia-sia. Pada laporan hasil pemeriksaan di ringkasan eksekutifnya, tidak ditemukan satupun temuan yang mengindikasikan kerugian negara.

Diuraikan, BPK menggunakan istilah kerugian Bank Century yang kemudian membebani Penyertaan Modal Sementara (PMS). BPK dengan tegas menuliskan, PMS digunakan untuk menutup kerugian yang terutama terjadi karena praktik-praktik tidak sehat dan melanggar. Dengan PMS, kerugian bank dapat ditutupi sehingga kecukupan modal minimum 8 persen terpenuhi (solvabilitas) dan likuiditas bank membaik.

"Untuk kepentingan solvabilitas, LPS mengucurkan Rp 4,561 triliun dan untuk memenuhi likuiditas pemerintah "berbaik hati" dengan menginjeksi BC Rp 2,201 triliun. Dari kebaikan hati pemerintah itu, digunakan Bank Century untuk penempatan BI (Rp 1,561 triliun), SUN (Rp 631,97 triliun), kas dan penempatan antar bank sehingga jumlah yang jelas di tangan Bank Century mencapai Rp 2,554 triliun," ujarnya.

BPK kemudian menilai transaksi-transaksi Surat-surat Berharga, Kredit, Letter of Credit, Kas Valas dan Biaya Operasional, DPK terafiliasi dan tidak terafiliasi, serta transaksi yang terkait dengan Antaboga Deltasekuritas.

Dengan merujuk permintaan DPR, lanjutnya, BPK menggunakan kriteria transaksi tidak wajar, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan merugikan negara dan atau masyarakat.

"Hanya saja kriteria itu diterjemahkan dengan mengacu pola-pola transaksi mencurigakan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 15/2002 ttg Tindak Pidana Pencucian Uang. Jika memperhatikan permintaan DPR dan kriteria BPK sendiri, seharusnya BPK juga menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi. Kelayakan dan kepatutan menggunakan UU Tipikor ini sesuai dengan Pasal 10 UU No. 15/2006 tentang BPK," ungkapnya.

"Yakni, BPK menilai atau menetapkan jumah kerugian negara yang diakibatkan perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Atas dasar itu, kriteria yang digunakan BPK dengan mengacu hanya pada UU tindak pidana pencucian uang, justru menurunkan bobot dan tujuan audit," Noorsy menegaskan.

Apalagi dalam ringkasan eksekutif, sambung Noorsy, itu tidak ditemukan kata-kata diduga menimbulkan kerugian keuangan negara. BPK berkali-kali menegaskan, (transaksi-transaksi itu menimbulkan) kerugian BC yang pada akhirnya membebani PMS.

"Di sini terlihat jelas, BPK bermain politik dengan memainkan rumusan kalimat seperti membebani PMS, bukan diduga menimbulkan kerugian negara. Selain membangun alasan adanya hambatan audit, permainan rumusan kalimat itu yang membuat orang tidak terlalu percaya, bahkan tidak puas dengan audit lanjutan," demikian Ichsanuddin Noorsy.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini