Laporan Wartawan Tribunnews.com Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) Miranda Swaray Goeltom diperiksa di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (10/1/2012), sebagai saksi untuk tersangka Nunun Nurbaeti dalam kasus suap cek pelawat (traveller cheque) pemilihan DGS BI yang dimenangkannya di Komisi IX DPR pada 2004.
Dalam pemeriksaan sekitar dua jam, Miranda mengaku ditanya soal hubungan kedekatannya dengan Paskah Suzetta dan Hamka Yandhu, yakni dua mantan anggota Komisi IX dari Partai Golkar periode 1999-2004, yang juga telah divonis bersalah karena menerima suap cek dalam pemilihan DGS BI yang dimenangkan oleh Miranda itu. Ia mengakui mengenal kedua politisi Partai Golkar itu sejak 1999 atau saat dirinya menjabat sebagai Deputi Gubernur BI.
Selain itu, Miranda juga mengaku ditanya penyidik soal asal-muasal 480 lembar cek pelawat senilai Rp 24 miliar yang diterima Nunun dan digunakan sebagai alat suap dalam pemilihan DGS BI di Komisi IX DPR pada 8 Juni 2004. Untuk pertanyaan yang satu ini, Miranda mengaku tidak tahu.
Miranda yang mengenakan hem putih dan rok abu-abu serta dandanan ala rambut ungu khasnya, langsung geleng-geleng saat seorang wartawan menanyakan ditanya tidaknya soal Bank Artha Graha dalam pemeriksaan.
Raut wajahnya langsung berubah saat seorang menanyakan kesiapan Miranda menjadi tersangka untuk kasus ini. "Kamu saja yah Mas, kamu saja yah...," jawab Miranda dengan nada bicara kesal.
Menurut Miranda, semua yang ia ketahui tentang kasus ini telah disampaikan ke penyidik KPK. Karena itu, ia menyarankan awak media untuk menanyakan soal materi pemeriksaan ke pihak KPK.
Sebagaimana diketahui, sejak mantan anggota DPR RI periode 1999-2004 dari PDI Perjuangan, Agus Condro, melaporkan kasus suap cek pelawat ini, lebih tiga tahun sudah kasus tersebut ditangani KPK. Namun, sejauh ini KPK belum mampu mengungkap aktor intelektual dan motif suap tersebut. KPK baru sebatas menjerat orang-orang yang terlibat sebagai penerima dan perantara cek tersebut seperti Nunun.
Adalah Miranda Swaray Goeltom sebagai orang yang saat itu terpilih dalam pemilihan di Senayan pada 8 Juni 2004, selalu membantah terlibat dalam kasus ini.
Di persidangan sejumlah mantan anggota DPR yang menjadi tersangka kasus ini, terungkap 480 lembar cek pelawat senilai Rp 24 miliar yang menjadi alat suap anggota DPR dibeli PT First Mujur Plantation & Industry dari Bank Internasional Indonesia (BII) Tbk dan dibayar melalui rekening perusahaan itu di Bank Artha Graha.
Budi Santoso selaku Direktur Keuangan PT First Mujur, menyatakan perusahaannya mengajukan kredit berjangka ke bank milik pengusaha Tomy Winata, Bank Artha Graha, yang pencairannya dalam bentuk cek pelawat. Cek itu diserahkan ke Ferry Yen alias Suhardi S, selaku rekan bisnis kebun sawit di Sumatera.
Belakangan cek pelawat itu telah berpindah tangan ke istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun, Nunun Nurbaeti, dan disalurkan oleh anak buahnya Arie Malangjudo ke empat anggota DPR periode 1999-2004 yang telah divonis penjara dan kini telah bebas.
KPK menyatakan rangkaian pemeriksaan terhadap tersangka Nunun dan sejumlah saksi, dari mulai mantan anggota DPR periode 1999-2004 yang telah dipidana dan bebas, Arie Malangjudo, Miranda, Direktur PT First Mujur Budi Santoso, hingga pihak Bank Artha Graha, adalah dalam rangka mengungkap aktor intelektual atau pun penyandang dana dari 480 lembar cek pelawat yang diduga digunakan untuk menyuap puluhan anggota DPR 1999-2004 saat pemilihan DGS BI di Komisi IX DPR saat itu.
Saat seorang wartawan menanyakan ada tidaknya pertanyaan penyidik KPK soal Bank Artha Graha dan Tomy Winata, Miranda langsung senyum-senyum.
Saat ditanyakan kembali oleh wartawan perihal ada tidaknya pertanyaan penyidik KPK soal Tomy Winata itu, Miranda menjawab, "Tak ada (pertanyaan itu dalam pemeriksaan). Hanya ditanya soal kapan kenal Paskah dan Hamka Yandhu, saya jawab kenal sejak '99."
Setelah itu, Miranda kembali melempar senyum ketika ditanya wartawan.
Dalam pemberitaan sejumlah media online, kuasa hukum Artha Graha, Otto Hasibuan, menyatakan kliennya memang mengeluarkan 480 lembar cek pelawat sebagaimana permintaan pihak PT First Mujur. Namun, pemberian cek itu sebatas menjalankan fungsi perbankan.
Bank Artha Graha memesan kepada Bank BII karena tidak menerbitkan cek perjalanan. Otto juga mengatakan, First Mujur membeli cek tak melalui kredit. Ia juga membantah tudingan bahwa pencairan cek hanya memakan waktu kurang dari dua jam.