News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus Travel Cheque

Rahman Mansur: Ferry Yen Tak Berhubungan dengan FMPI

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ditemani pengacara, tersangka kasus cek pelawat, Miranda Swaray Gultom memasuki gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan, Jumat(1/6/2012).

Laporan Wartawan Tribun Medan, Feriansyah

TRIBUNNEWS.COM, MEDAN - Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) diminta untuk memeriksa Rahman Mansur. Mansur adalah mantan direksi dan karyawan PT First Mujur Plantation & Industry (PT FMPI) terkait kasus cek pelawat.

Mansur pensiun dari FMPI pada 2011. Ia sudah 22 tahun bekerja di perkebunan yang awalnya didirikan keluarga buron illegal logging Adelin Lis. Ia sudah bekerja sejak 1989, sebelum PT Permata Karisma Indah masuk 2002. Mansur dipercaya mengurusi masalah-masalah tanah di perusahaan itu. Jika perusahaan akan membeli tanah, ia akan ditugasi melakukan survei dan mengukurnya.

"Ya Pak Mansur pasti tidak tahu cerita tentang kerjasama PT FMPI dengan Ferry Yen. Karena memang tidak ada itu, kalau ada pasti Pak Mansur tahu, karena dia yang bertugas mensurvei dan mengukur kalau ada jual beli lahan. Kalau sudah bagian pengukur tanah tak tahu, pasti bagian legal dan keuangan tidak tahu," kata salah seorang sumber kepada Tribunnews.com

Ditemui Tribunnews.com di kediamannya,Mansur bercerita tanpa suara. Maklum, lelaki lebih separuh abad ini baru saja selesai melakukan opersi pita suaranya. Lehernya tampak terpasang selang. Sesekali ia paksakan berucap menjawab Tribunnews.com, namun terdengar sangat tak jelas, suara mengorok yang terdengar keluar dari selang di lehernya.

Ia menyimak pertanyaan Tribunnews.com kemudian dijawab dengan menulis di kertas yang sengaja dibawanya dari dalam kamar tidurnya. Ia menggelengkan kepala saat ditanya, apakah pernah berhubungan jual beli tanah dengan seorang bernama Ferry Yen pada 2004.

"Setahu saya tidak ada nama Ferry Yen berhubungan dengan PT FMPI," tulisnya di kertas.

Ia juga selalu menggelengkan kepala ditanya tentang pembelian lahan di Tapanuli Selatan(Tapsel) seluas 5.000 hektare. Namun, dengan suara sangat terpaksa, ia sempat mengucap kata PT Wono Rejo pernah berhubungan akan menjual tanah pada 2001 sebesar Rp 80 miliar.

"PT Wono Rejo, dekat kebun PT FMPI di Tapsel, mau dijual Rp 80 miliar. Tapi nggak jadi karena direkturnya meninggal. Sekarang sudah dibeli sama perusahaan asal Lampung," tulisnya.

Apakah direkturnya bernama Ferry Yen? Ia kembali menggeleng. "Bukan," ucapnya dengan nada suara ngorok.

Saat ditanya tentang perubahan nama PT FMPI, ia langsung menuliskan PT Barumun Agro Sentosa. Ia juga sempat menulis nama Syaiful Anwar, bagian legal yang juga mengerti dan banyak tahu tentang lahan PT FMPI.

"Cari Syaiful Anwar, Kabag Legal PT FMPI di Jalan DC Mahakam Blok C No 14 Padang Golf, Polonia, Medan, telepon 061-7882311," tulisnya.

Mansur juga menulis "Yang paling tahu semua ceritanya Pak Sonny Wicaksono".

Wawancara Tribunnews.com dengan Mansur tidak bisa berlangsung lama. Ia takut dari tenggorokannya akan keluar darah. Istrinya juga tidak membiarkan wawancara itu berlangsung lama.

"Lagi sakit dia, enggak bisa ngomong, baru saja operasi, ya dek," kata istrinya.

Tribunnews.com sempat mendatangi Kantor PT BAS, di Jalan DC Mahakam Blok C No 14 Padang Golf, Polonia, Medan. Sekuriti yang ditemui Tribun mengakui Syaiful Anwar bekerja sebagai legal di perusahaan itu.

"Iya betul. Tapi ini kan hari Minggu, ya libur. Adek mahasiswanya ya," kata seorang Sekuriti ditemani tiga rekannya berbadan tegap. Tribunnews.com langsung pergi meninggalkan kantor tersebut.

Juru Bicara KPK Johan Budi saat dikonfirmasi mengakui tim penyidik kasus cek pelawat ini masih fokus untuk menuntaskan berkas Miranda.

"Sesuai keterangan pimpinan KPK, tim masih fokus ke Miranda. Saya belum tahu apakah tim akan memeriksa kantor First Mujur yang ada di Medan," katanya saat dihubungi, Sabtu. Ia mengaku belum tahu nama First Mujur sudah berubah jadi PT Barumun Agro Sentosa (BAS).

"Belum dikasih tim penyidik," kata Johan seraya meminta beberapa nomor kontak narasumber Tribunnews.com yang akan diberikan pada tim penyidik kasus ini.

Nama Suhardi alias Ferry Yen dan transaksi pembelian kebun sawit 5.000 hektare oleh FMPI pada 2004 berkali-kali diungkapkan mantan direktur perusahaan ini, Budi Santoso saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Terakhir saat bersaksi terdakwa Nunun Nurbaitie Daradjatun di Pengadilan Tipikor Jakarta, 26 Maret 2012, Budi pada awal 2004, pemilik PT FMPI Hidayat Lukman atau Teddy Uban mengadakan perjanjian kerjasama dengan Suhardi alias Ferry Yen untuk membeli kebun sawit di Tapanuli Selatan, Sumut. Total pembelian kebun itu senilai Rp 75 miliar dengan luas lahan 5.000 hektare.

Dalam kerja sama ini, saham Hidayat 80 persen dan Suhardi 20 persen atau FMPI Rp 60 miliar dan Suhardi Rp 15 miliar. Pada 7 Juni 2004, Suhardi datang ke kantor PT FMPI untuk mengambil uangnya. Saat itu, ia ingin uang tersebut diberikan dalam berupa cek pelawat. Budi langsung memesan cek pelawat itu ke Bank Artha Graha. Tapi karena Bank Artha Graha tidak menjual cek pelawat, Bank Artha Graha pun memesan ke Bank Intenational Indonesia (BII).

Budi juga mengatakan uang pembayaran itu dilakukan melalui kredit. karena PT FMPI memiliki fasiilitas di Bank Artha Graha berupa revolving loan. Lalu cek itu diambil pada 8 Juni 2004 bersamaan dengan pelaksanaan fit and proper test pemilihan Deputi Gubenur Senior Bank Indonesia. Pada 8 Juni siang itu, Budi menyerahkan 480 cek pelawat itu ke Suhardi alias Ferry Yen. Menurut Budi, transaksi penerimaan cek pelawat itu dilakukan di kantor PT FMPI di Gedung Artha Graha lantai 27. Setelah Suhardi alias Ferry Yan menerima cek pelawat itu, ia membuat tanda terima untuk cek tersebut dan kemudian ia bawa pulang.

Berita Terkait: Kasus Travel Cheque
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini