TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyerahan berkas perkara dari Polri kepada KPK, tidak semudah membalikkan tangan.
Saat ini koordinasi terus dibangun, antara penyidik kedua lembaga penegak hukum. Tapi, entah apa yang sebenarnya menjadi kendala.
Apakah terkait masa penahanan para tersangka yang sudah semakin sempit, atau ada hal lain yang membuat penyidik KPK tidak bisa mengambil kasus tersebut?
Tentu saja masalah hukum bukan permainan, tapi ada prosedur yang harus dijalankan.
"Kemungkinan ada masalah teknis yang mungkin belum ada satu pemahamanan yang sama dalam masalah teknis ini. Kelihatannya butuh beberapa hari lagi," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (18/10/2012).
Boy menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang mengakibatkan lambatnya penyerahan kasus simulator SIM. Di antaranya, masalah penahanan tersangka.
"Saya melihat dugaannya masalah penahanan. Kalau berkas mungkin bisa, tapi bagaimana dengan status para tersangka yang sudah ditahan dan hari penahanannya sedang berjalan terus. Ibaratnya sudah mendekati akhir. Ini kan berarti sudah pada tahapan melengkapi berkas perkara yang perlu dilakukan untuk tersangka yang sedang ditahan," ungkap Boy.
Lamanya penyerahan kasus simulator SIM, menjadi sebuah kerugian tersendiri bagi kepolisian. Anggapan yang berkembang di masyarakat saat ini, Polri dianggap sengaja mengulur-ngulur waktu penyerahan kasus tersebut.
Menyikapi hal tersebut, Mabes Polri mengklaim bahwa penyidik Polri merupakan pihak yang dalam posisi siap menyerahkan. Kendala pertimbangan ada di KPK, jangan sampai penyerahan kasus justru melanggar aturan hukum, sehingga menjadi masalah bagi KPK di kemudian hari.
Saat diserahkan kepada KPK, tentu saja kasus tersebut harus clear.
"Pada prinsipnya kami dalam posisi siap melakukan proses penyerahan," ucapnya.
Bahkan, Polri pun siap menyerahkan seluruh tersangka simulator SIM yang saat ini sudah ditahan, kepada KPK.
Meski, hingga saat ini KPK hanya meminta tiga tersangka, yaitu Brigjen Didik Purnomo, Budi Susanto, dan Sukotjo Bambang.
"Bisa lima, bisa tiga (yang diserahkan) apa yang diminta," kata Boy. (*)