TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peristiwa penyerangan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Cebongan Sleman, memunculkan kembali wacana kepolisian di bawah kementerian.
Usulan tersebut merupakan salah satu solusi mengatasi konflik antara polisi dan TNI. Namun, wacana itu sepertinya masih sulit diwujudkan. Anggota Kompolnas Adrianus Meiala mengatakan, institusi Polri saat ini terlalu pragmatis.
"Mereka nyaman di bawah presiden, dan memicu kecemburuan tentara yang di bawah Kementerian Pertahanan," ujar Adrianus dalam diskusi di MPR, Jakarta, Senin (25/3/2013).
Pengamat militer asal LIPI Jaleswari Pramodharwardani menuturkan, hubungan TNI Polri sudah di titik nadir. Sebab, banyak pihak menyebutkan berbagai macam faktor yang membuat kedua institusi itu meregang, seperti kecemburuan dan kedisiplinan.
Ia mengatakan, pemisahan TNI-Polri pada era reformasi masih menyisakan sejumlah masalah.
"Tidak clear pemisahan dan dampaknya. Sebagai lembaga yang terpisah oke, tapi bagaimana pemisahan itu terjadi. Kita tidak pernah memberlakukan hubungan TNI-Polri secara serius, tapi seperti pemadam kebakaran," tuturnya.
Saat reformasi, papar Jaleswari, sepertinya pemerintah hanya memisahkan Polri dan TNI dari segi tanggung jawab keamanan. Berubahnya peran, berimplikasi kepada umum.
Dulu, jelanyaa, TNI menjaga obyek vital negara, namun kini diambil Polri. Begitu pula soal terorisme, yang dulu pemberantasannya dilakukan TNI, kini berpaling ke Polri.
"Ini bicara kesejahteraan dan kekuasaan," ucapnya.
Jaleswari mencotohkan, di Jepang, polisi di bawah Kompolnas. Di Malaysia, polisi di bawah Kemendagri. Sedangan di Amerika Serikat, polisi di bawah negara bagian.
"Perubahan struktur penting agar tidak menambah kecemburuan. Militer sekarang tidak mau disidik Polri," cetusnya. (*)