TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar Nurul Arifin menegaskan mengangkat bendera Aceh dalam konteks Negara Kesatuan adalah tidak dibenarkan secara hukum dan politik.
Menurut Wasekjen Golkar ini, bukan itu saja, hal itu bisa melanggar UU No.24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta lagu Kebangsaan.
"Mengangkat bendera Aceh dalam konteks Negara Kesatuan adalah tidak dibenarkan secara hukum dan politik," tegas Wasekjen Golkar ini kepada Tribunnews.com, Jakarta, Selasa (2/4/2013).
Selain itu kata Artis era 1980-an ini, di dalam UU No 11 TAHUN 2006 tentang Pemerintahan Aceh, perlu dipahami secara jelas. Terutama di dalam Bab IV tentang kewenangan Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota.
"Bab V yang mengatur tentang urusan pemerintahan secara jelas menegaskan bahwa konstruksi kewenangan di dalam UU ini mengatur formula yang diatur dalam UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang paling ditekankan adalah Negara Kesatuan," ujar Nurul.
Karena itu, dia tegaskan, tidak ada ruang tafsir bagi pembentukan negara dalam negara, atau negara federal. Karena itu Pasti bertentangan dengan pasal 1 ayat (1) UUD NKRI 1945. Hanya lima (5) urusan yang diatur dalam pasal 16 UU No.11 tahun 2006 yang diberikan priveledge kepada pemerintahan Aceh.
Secara politik juga, imbuhnya, sikap itu membawa efek psikologis bagi munculnya gerakan separatisme di Aceh yang telah setuju tunduk di bawah negara kesatuan RI sebagaimana yang telah dicantumkan dalam MoU Helsinky.
Karenanya, Nurul katakan, semua kalangan hendaknya memahami, bahwa MoU Helsinky janganlah dibaca secara letterlegh. Tapi patut dibaca dalam satu bingkai Negara Kesatuan RI.
"Komitmen itu yang harus dipegang teguh. Pancasila, Bhinneka tunggal Ika dan UUD NRI 1945 adalah wadah dan filsafat kolektif yang menyatukan seluruh perbedaan di antara kita," ucapnya.