TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Tindakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat, yang menjelaskan polemik batalnya Yeny Zanubah Wahid bergabung ke Partai Demokrat di Istana Negara Jakarta, Rabu (17 April 2013) kemarin menuai polemik.
Berkali-kali dalam berbagai kesempatan, SBY kerap melontarkan pernyataan hanya akan mengurus masalah partai di akhir pekan. Namun kenyataannya, kejadian kemarin merupakan bentuk pengingkaran tekad SBY.
Pengajar komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI) Ari Junaedi menilai, sangat sulit menagih komitmen SBY untuk bisa memisahkan urusan partai dengan masalah negara dan pemerintahan.
"Kejadian kemarin ini karena bersifat terbuka sehingga pers bisa mewartakan. Bagaimana jika SBY mengumpulkan menteri-menteri yang berasal dari Partai Demokrat di Istana pada hari kerja dan topik yang dibicarakan masalah Demokrat secara tertutup ? Apa bisa pers dan masyarakat bisa mengkontrol ?" Ari mempertanyakan saat dimintai tanggapanya oleh Tribunnews, Kamis (18/4/2013).
Dalam jumpa persnya di Istana Negara kemarin malam , Presiden SBY yang juga Ketua Umum Partai Demokrat merasa nama baiknya tercemar. Hal ini terkait dengan pemberitaan bahwa dirinya menawarkan posisi tertentu kepada Yenny Wahid.
SBY menggunakan Kantor Presiden untuk memberikan klarifikasi terkait kapasitasnya sebagai politisi Partai Demokrat, bukan Kepala Negara.
SBY menceritakan bahwa pertemuannya dengan Yenny bersama sang ibunda, Sinta Nuriyah Wahid, di Puri Cikeas beberapa waktu lalu membahas berbagai persoalan di negeri itu.
SBY menjelaskan, sempat berdiskusi dengan Yenny tentang kemungkinan berada di dalam satu partai. Tetapi, SBY membantah dia menawarkan posisi tertentu kepada Yenny.
"Tidak ada sama sekali Mbak Yenny, katakanlah mengharapkan posisi tertentu atau jabatan tertentu. Tidak ada. Kalau diberitakan Mbak Yenny ingin menjabat wakil ketua umum Demokrat, tidak ada. Kasihan beliau, tidak ada seperti itu," kata SBY.
Ari Junaedi menambahkan, SBY diprediksi dalam mengurus partai akan semakin tinggi. Sehingga wajar jika publik menuntut komitmen yang ditegaskan SBY sejak awal yakni hanya mengurus partai di akhir pekan dan bukan di Istana.
"Jika diibaratkan SBY ini pemain bola, wajar jika mendapatkan kartu kuning. Kalau ketahuan lagi menggelar acara partai dengan menggunakan fasilitas negara dan di jam kerja, layak pula memperoleh kartu kuning ke dua alias kartu merah," papar Ari Junaedi.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Max Sopacua tentu saja berbeda pandangan dengan Ari Junaedi. Max menganggap, bukan sesuatu hal yang harus dipermasalahkan terkait hal tersebut.