TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sesungguhnya istilah kepala negara itu tak mempunyai alasan hukum yang kuat, karena pascaamandemen UUD NRI 1945 Indonesia sudah tidak mengenal kepala negara, melainkan presiden yang juga kepala pemerintahan. Untuk itu harus amandemen konstitusi.
“Kepala negara di negara-negara di dunia itu hanya sebagai simbol untuk menopang kewibawaannya. Jadi, tak punya alasan kuat, kecuali subyektif dan situasional saja dalam mengumpulkan lembaga tinggi negara, jika atas nama kepala negara,” kata Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Thohari dalam dialog ‘Perlukah pemisahan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan ?" bersama anggota DPD RI Marhany Victor Polypua, dan pakar hukum tata negara Prof Saldi Isra di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Rabu (9/10/2013).
Menurut Hajriyanto, sebagai simbol maka kepala negara tidak boleh melakukan kegiatan politik pemerintahan, tak boleh dikritik, maka dibutuhkan figur yang kuat.
“Tak ada salahnya untuk dikaji lebih mendalam, karena negara ini butuh orang yang mau kerja keras dan serius. Terbukti reformasi membawa perubahan positif, hanya masih terjadi kebingungan antar lembaga negara,” ujarnya.
Hajriyanto tak khawatir terjadi konflik kepentingan antar kepala negara dan presiden, dan perlu pengaturan secara benar. Kepala negara pun katanya, tak menyusun birokrasi lembaganya.
“Justru ini sekaligus sebagai pengejawantahan budaya nusantara dan prinsip nilai-nilai Pancasila. Misalnya kalau presiden dari Jawa, maka kepala negaranya bukan Jawa,” ujarnya.
Saldi Isra sependapat bahwa dalam konsitusi sudah jelas jika kekuasaan dan kepala negara itu ada di tangan presiden, dan tak ada penyebutan kepala pemerintahan.
“Fakta hari ini mustahil memisahkan kepala negara dan presiden, kecuali melakukan amandemen. Pemisahan itu bisa memisahkan kekuasaan simbolik, dan pemerintahan,” kata Saldi.
Lalu, haruskah pertahankan sistem presidensial, atau semi parlementer? Kalau semi parlementer ada kepala negara, dan kepala pemerintahan. Dua sistem itu masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihan.
“Kalau presidensil lebih stabil karena diikat dengan doktrin periodesasi lima tahun. Sebaliknya parlementer seperti di Amerika Serikat, tak stabil akibat terjadi tarik-menarik antara DPR dan presiden,” kata Saldi.
Selain itu sistem parlementer akan lebih banyak memberikan alternatif untuk calon presiden berikutnya, dan hanya anggota DPR RI yang bisa menjadi kepala negara. Karena itu, Indonesia masih perlu simbol kepala negara untuk menjadi penengah dalam banyak kepentingan masyarakat maupun politisi.
“Jadi, presidensil itu menumpukkan kekuasaan pada presiden, sehingga Wapres itu selamanya tetap menjadi pelengkap, ban serep,” ujarnya.
Marhany mendukung langkah tersebut meski harus melakukan amandemen. “Konstitusi sudah mengunci bahwa yang menjalankan pemerintahan adalah presiden sekaligus kepala negara. Sehingga tanpa amandemen tak mungkin ada kepala negara, sekaligus memperkuat DPD RI,” katanya.